Selasa, 27 Oktober 2009

PENGUATAN IPTEK NASIONAL

Oleh Prakoso Bhairawa Putera

Suatu kebijakan merupakan rencana tindakan yang sengaja dibuat untuk memandu keputusan dan mencapai tujuan-tujuan secara rasional. William Jenkins dalam Policy Analysis: A Political and Organizational Perspektive (1978) menyatakan, kebijakan adalah satu set keputusan yang saling berhubungan yang dilakukan oleh seorang aktor politik atau sekelompok aktor mempertimbangkan pemilihan dari tujuan dan cara untuk mencapainya dalam situasi tertentu di mana keputusan tersebut harus, secara prinsip, ada dalam lingkup kekuasaan yang dapat dicapai oleh aktor-aktor tersebut.

Di beberapa negara industri baru, sektor yang dikedepankan untuk mempercepat pembangunan sekaligus sebagai sektor strategis yang mendorong perekonomian nasional adalah iptek. Iptek haruslah dilihat dalam pengertian luas mencakup ilmu-ilmu pengetahuan alam, ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan, teknologi, manajemen, serta seni dan desain. Hal tersebut merupakan faktor pendorong yang sangat vital dalam pembangunan dan pemandirian bangsa. Ketika arah pengembangan iptek dapat diselaraskan dengan arah-arah kegiatan pembangunan di berbagai sektor, performa proses pembangunan lebih efektif dan capaian pembangunan (output, outcome, dan dampak) terjamin sustainabilitasnya. Sebaliknya, ketika kegiatan pembangunan tidak ditopang iptek, dapat terjadi gejala pembangunan berbiaya tinggi, kebergantungan pada bantuan iptek luar negeri, dan tidak berkelanjutan.

Perkembangan iptek sangat bergantung pada bagaimana kebijakan iptek di suatu negara berkorelasi dengan kebijakan-kebijakan pembangunan di berbagai sektor. Kebijakan iptek di negara-negara maju di abad ke-19/awal abad ke-20, menjadi bagian penting dari kebijakan pertahanan, tetapi tidak banyak berkaitan dengan kebijakan sosial ekonomi. Di era Perang Dunia I dan II, riset fundamental (seperti fisika energi tinggi dan fisika nuklir), bidang-bidang teknologi cutting-edge (seperti teknologi kedirgantaraan, teknologi komputasi massif, dan rekayasa genetika) menjadi prioritas pengembangan iptek di negara maju seperti Amerika Serikat, Uni Soviet, negara-negara Eropa, dan Cina, untuk kepentingan pertahanan.

Pada negara-negara industri baru (seperti Jepang, Taiwan, Korea Selatan, dan Singapura), kebijakan iptek berkembang dengan penekanan pada riset-riset industrial untuk tujuan alih teknologi dan peningkatan ekpor berbasis teknologi tinggi. Meskipun memberi dampak ekonomi (pada PDB) yang berarti, kebijakan iptek ini kurang memperhatikan pertumbuhan kapasitas riset bangsa secara keseluruhan. Dampak keterbatasan ini menjadi signifikan di era krisis Asia di periode 1990-an.

Kebijakan iptek nasional yang terintegrasi dalam bingkai kebijakan pembangunan secara utuh sangat diperlukan dalam usaha mengentaskan bangsa Indonesia dari "krisis". Sejak munculnya Kebijakan Strategis (Jakstra) Pembangunan Nasional Iptek yang disusun dengan maksud agar dapat memberikan panduan bagi segenap bangsa Indonesia untuk meningkatkan keterpaduan langkah pemanfaatan, pengembangan, dan penguasaan iptek dalam mendukung pembangunan nasional dan pencapaian peningkatan daya saing bangsa.

Jakstra mengarahkan pembangunan iptek pada dua dimensi yang saling terkait. Pertama, mendayagunakan iptek untuk mendukung upaya-upaya pembangunan nasional secara berkelanjutan. Kedua, pembangunan pada peningkatan kemampuan penguasaan iptek dalam mencapai kesejajaran dengan negara-negara yang lebih maju. Pada dimensi pertama, iptek diletakkan sebagai sarana pembangunan (science and technology for development). Sedangkan pada dimensi kedua, iptek merupakan sasaran pembangunan (development of science and technology). Keefektifan pendayagunaan iptek untuk mendukung pembangunan nasional bergantung pada tingkat akumulasi kemampuan iptek. Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi memungkinkan bertambahnya sumber daya yang bisa dialokasikan untuk memperdalam penguasaan iptek.

Pemaduan dua dimensi tersebut ditumpukan pada suatu Sistem Inovasi Nasional (SIN). SIN merupakan landasan pemikiran yang menyeluruh untuk pembangunan iptek yang mencakup pilar-pilar utama seperti SDM, teknologi, dan modal. Pembangunan berbasis SIN bertumpu sekaligus pada simpul-simpul SIN, seperti sektor produksi, lembaga litbang nasional, perguruan tinggi, dan pada interaksi yang harmonis antara simpul-simpul tersebut. Fokus utama dalam interaksi itu adalah kegiatan-kegiatan seperti adopsi dan adaptasi teknologi baru, inovasi, dan difusi teknologi, perekaan, serta penemuan baru. Kesemuanya diarahkan untuk menjadikan iptek sebagai tiang utama dalam menumbuhkan daya saing industri dan masyarakat secara keseluruhan.

Untuk menopang penguatan pelaksanaan SIN di Indonesia, mau tidak mau penguatan kebijakan berpihak dan dapat mengakomodasi kepentingan iptek. Tataran penguatan kebijakan dapat diarahkan setidaknya pada enam fokus, yaitu fokus penelitian terarah pada kegiatan ekonomi dan iptek peningkatan daya saing, penyediaan jumlah SDM litbang yang memadai, task approach dan priority approach, peningkatan kualitas prasarana dan sarana penelitian, penguatan sikap peneliti yang profesional, serta membangun partisipasi, kesadaran masyarakat -- budaya iptek.

Layaknya rumah, Indonesia adalah satu kesatuan dan iptek merupakan bangunan tempat menjadi naungan Indonesia. Supaya bisa terlihat diperlukan kokohnya satu kesatuan utuh. Enam komponen tersebut saling membentuk dalam satu bangunan kokoh layaknya rumah.

Iptek merupakan satu investasi yang tidak bisa secara langsung dan dalam waktu cepat bisa dinikmati, tetapi butuh proses yang cukup panjang dan terus dikawal keberadaannya. Seperti Jepang yang baru pada awal periode 2000-an ini muncul setelah sekian lama melakukan investasi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kini giliran kita (Indonesia) untuk berusaha sekuat tenaga meningkatkan keadaan iptek yang ada dan terus mengawalnya. ***

Penulis, Peneliti Muda Kebijakan dan Perkembangan Iptek,
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta

Sumber: Pikiran Rakyat, edisi 24 Oktober 2009

PENTINGNYA PENDIDIKAN KESIAPSIAGAAN BENCANA

Oleh Prakoso Bhairawa Putera S.

KESIAPSIAGAAN atau tanggap bencana menjadi penting di saat kondisi bangsa Indonesia semakin rawan akan bencana. Bencana bukan hanya dilihat dari perspektif dampak dari alam, tetapi lebih dari itu.

Hoesada (2006), mendefinisikan bencana sebagai interupsi signifikan terhadap kesinambungan kegiatan operasi sehari-hari yang bersifat normal dan berkesinambungan bagi suatu entitas, yang berpengaruh kepada anggota dalam entitas, pemasok entitas, pelanggan entitas, dan berbagai pemangku kepentingan yang lain. Sebagai sebuah interupsi signifikan, bencana biasanya ditimbulkan dari fenomena alam, akibat kelalaian manusia, dan juga kejahatan.

Kesiapsiagaan

Akhir-akhir ini, bangsa Indonesia menghadapi berbagai macam bencana yang datang silih berganti. Minimnya pengetahuan masyarakat akan kebencanaan, menyebabkan risiko bencana di Indonesia menjadi semakin tinggi. Kondisi ini menuntut untuk tanggap terhadap bencana.

Di Jepang, penanaman sejak dini akan tanggap bencana telah dilakukan. Jepang memiliki karakteristik hampir sama dengan Indonesia dalam hal saratnya terjadi bencana. Gempa bumi, banjir, letusan gunung api, hujan salju berskala besar, hingga badai sangat sering terjadi di Jepang setiap tahunnya. Negara ini memiliki kesiapsiagaan menghadapi bencana yang amat baik dan telah melaksanakan pendidikan kesiapsiagaan bencana. Langkah ini merupakan suatu aktivitas yang dilakukan mulai dari yang sederhana hingga terintegrasi dan bagian tidak terpisahkan dari manajemen bencana (disaster management).

Manajemen bencana dikenal memiliki siklus yang terbentuk atas empat aktivitas yaitu; mitigation, preparedness, response, dan recovery seperti yang dijelaskan oleh Heru Susetyo (2006). Walsh (2005) menyebutkan bahwa mitigation dan juga planning (perencanaan) adalah elemen utama dalam preparedness.

Pendidikan kebencanaan

Menyadari pentingnya kesadaran akan tanggap bencana membuat banyak pihak di negeri ini bukan hanya dituntut memberikan pemahaman tetapi juga selalu siap dengan kondisi bencana. Dengan kata lain, pendidikan kebencanaan menjadi penting.

Pendidikan kesiapsiagaan bencana sebagai bagian mitigasi otomatis merupakan bagian kesiapsiagaan. Penyampaian berbagai pengetahuan melalui pendidikan dapat dilakukan berupa integrasi konsep-konsep pencegahan bencana dalam kurikulum pendidikan di sekolah. Tingkat pendidikan hendaknya dimulai dari pendidikan di sekolah dasar, menengah, hingga tinggi. Pemberian materi kesiapsiagaan bencana dapat terintegral dengan mata pelajaran di sekolah, atau juga dapat dengan penambahan mata pelajaran khusus dalam muatan lokal. Pelaksanaan ini membutuhkan komitmen dan kebijakan secara nasional yang dilakukan departemen terkait terutama Departemen Pendidikan Nasional.

Sebelum adanya kebijakan tentang pendidikan kebencanaan, bisa juga melaksanakan pelatihan untuk siswa, guru, ataupun karyawan. Materi pelatihan diarahkan untuk peningkatan ketrampilan menghadapi bencana ataupun perencanaan menghadapi bencana. Untuk masyarakat umum, penyebaran pengetahuan kebencanaan dapat berupa penyuluhan interaktif yang dilakukan secara reguler ataupun melaksanakan latihan pencegahan bencana secara rutin yang melibatkan unsur masyarakat umum, lembaga swadaya masyarakat, pemerintah, lembaga kesehatan-pemadam kebakaran, palang merah, angkatan bersenjata, hingga pekerja kantor dan para profesional.

Jepang sudah melaksanakan metode pendidikan kesiapsiagaan terhadap bencana sejak 1971. Hampir di setiap kota besar dan prefectures di Jepang terdapat pusat pelatihan pencegahan bencana. Pusat pelatihan ini menyediakan latihan dan simulasi secara gratis kepada setiap warga negara maupun pengunjung. Simulasi yang disediakan meliputi simulasi gempa bumi (jishin), simulasi badai (taihu), pemadaman api menggunakan fire extinguisher, penyelamatan ketika kebakaran, permainan mengendarai helikopter untuk mengevakuasi korban bencana, dan lainnya.

Pelajar setingkat shogakko (sekolah dasar) berkewajiban untuk mendatangi, mengenal, dan mengikuti simulasi pencegahan bencana di pusat pencegahan bencana terdekat. Semua diintegrasikan dengan kurikulum belajar.

Melihat kondisi di Indonesia maka untuk melaksanakan dan menerapkan atau juga mengadopsi pendidikan kesiapsiagaan bencana diperlukan komitmen secara nasional dan tegas dari pemerintah dalam bentuk kebijakan pendidikan kebencanaan. Kesinambungan program bukan hanya setelah terjadi bencana, yang lebih perlu diperhatikan adalah penyebaran pengetahuan melalui pendidikan dan pelatihan jangan dipusatkan di pulau Jawa ataupun di kota saja, tetapi di seluruh wilayah NKRI karena bencana bisa terjadi dimana saja. Akhirnya komitmen-kontinyu-menyeluruh adalah kunci keberhasilan penyelenggaraan pendidikan kesiapsiagaan bencana.***

Penulis, Peneliti Muda Kebijakan dan Perkembangan Iptek – LIPI, Jakarta.

Sumber : Pikiran Rakyat, edisi 08 Oktober 2009

Senin, 14 September 2009

PENGEMIS DAN POLA URBAN

Oleh Prakoso Bhairawa Putera S.

BULAN Ramadan merupakan bulan berjuta ampunan, sehingga setiap Muslim begitu mudah mengeluarkan lembaran uang dari kantong untuk mereka yang membutuhkan. Tradisi ini pun ternyata menjadi peluang baru bagi para pengemis yang ketika mendekati dan berada di bulan Ramadan ramai berderetan di masjid-masjid ataupun pusat perbelanjaan. Dalil pengemis "musiman" sepertinya jawaban awal mengenai fenomena yang muncul tidak hanya di kota Bandung, namun hampir di setiap kota metropolitan.

Tidak dapat dimungkiri, pertumbuhan penduduk di perkotaan di satu sisi menyebabkan pertumbuhan penduduk perdesaan mengalami stagnasi dan bahkan terdapat kecenderungan menurun. Hal ini juga menunjukkan adanya perubahan masyarakat perdesaan yang telah menjadi perkotaan. Data menunjukkan bahwa laju pertumbuhan penduduk di perkotaan jauh di atas laju pertumbuhan penduduk di daerah perdesaan. Pada tahun 1990, persentase penduduk perkotaan baru mencapai 31 persen dari total penduduk Indonesia. Namun, tahun 2000 telah mencapai 42 persen, dan diproyeksikan pada 2025, keadaannya berbalik, yaitu perkotaan berpenduduk 57 persen dan perdesaan 43 persen. Hal ini juga ditunjukkan dengan perbandingan kecepatan pertumbuhan penduduk perkotaan dan perdesaan yang semakin besar, yaitu dari 6:1 menjadi 14:1.

Perkembangan urban di Indonesia perlu diamati secara serius. Banyak studi memperlihatkan bahwa tingkat konsentrasi penduduk di kota-kota besar telah berkembang dengan pesat. Studi yang dilakukan Warner Ruts tahun 1987 menunjukkan bahwa jumlah kota-kota kecil (<100 ribu penduduk) sangat besar dibandingkan dengan kota menengah (500 ribu sampai 1 juta penduduk). Kondisi ini mengakibatkan perpindahan penduduk menuju kota besar cenderung tidak terkendali. Ada fenomena di mana kota-kota besar akan selalu tumbuh dan berkembang, kemudian membentuk kota yang disebut kota-kota metropolitan. Jakarta misalnya, telah lama menjadi kota terpadat di Asia Tenggara dengan perkiraan penduduknya mencapai 12 juta jiwa pada 1995. Diperkirakan sekitar 2015, Jakarta akan menduduki tempat kelima dalam 10 besar kota-kota terbesar di dunia.

Derasnya urbanisasi di Indonesia terjadi karena berbagai faktor. Kota dengan segala fasilitasnya menjadi daya tarik tersendiri bagi penduduk perdesaan. Cerita sukses dan penampilan fisik yang dipamerkan para pemudik saat Lebaran merupakan bumbu rangsangan tersendiri bagi penduduk perdesaan. Kehidupan glamor yang dipertontonkan media massa, khususnya televisi melalui sinetron dan format acara lain, menjadi suplemen mimpi untuk mengadu nasib dan mencari peruntungan penduduk perdesaan di perkotaan. Sempitnya lapangan pekerjaan di perdesaan dan seretnya peredaran uang di perdesaan menambah daya dorong penduduk perdesaan melakukan urbanisasi.

Sayang, alasan klasik kembali muncul. Kebanyakan para pendatang hanya berbekal tekad tanpa keterampilan yang memadai. Kue lapangan pekerjaan perkotaan yang terbatas pun diperebutkan dengan ketat. Tidak mengherankan bila para pendatang ini harus tinggal di gubuk-gubuk liar, menjadi pengemis dan gelandangan di jalanan yang dapat kita saksikan setiap hari.

Gelandangan, pengemis, dan anak jalanan semata-mata bukan hanya menjadi masalah kota besar di negara-negara sedang berkembang, namun juga banyak terjadi di negara yang sudah maju. Hakekatnya persoalan mereka bukanlah kemiskinan belaka, melainkan juga eksploitasi, manipulasi, ketidakkonsistenan terhadap cara-cara pertolongan baik oleh mereka sendiri maupun pihak lain yang menaruh perhatian terhadap anak jalanan (anjal).

Khususnya Kota Bandung, para pengemis dan anjal belakangan ini menjadi suatu fenomena sosial yang sangat penting dalam kehidupan kota besar. Kehadiran mereka seringkali dianggap sebagai cermin kemiskinan kota, atau suatu kegagalan adaptasi kelompok orang tersebut terhadap kehidupan dinamis kota besar.

Pola kerja mereka kini mulai diubah. Jika dulu kita begitu akrab dengan anjal, gedeng, dan sejenisnya di lampu-lampu merah, namun sejak diberlakukan peraturan daerah tentang kebersihan, dan ketertiban, kini wajah kota sedikit bersih dari anjal, pengemis, gelandangan dan orang gila yang berkeliaran.

Ternyata keberadaan mereka tidak hilang begitu saja, pola dengan ekspansi di pusat-pusat perbelanjaan dan kompleks-kompleks perumahan pun jadi pilihan dan alternatif segar. Bahkan selama Ramadan dan menjelang Idulfitri mereka semakin akrab di sekitar masjid-masjid. Yang membuat kita tercengang adalah bagaimana pola kerja mereka yang begitu rapi. Kalau kita amati, di pusat-pusat perbelanjaan akan ditemukan pengemis yang berbeda setiap harinya, dan justru akan menemukan mereka di pusat perbelanjaan lainnya.

Mungkin perlu kerja sama dan usaha yang lebih keras untuk meminimalisasi ruang gerak mereka dengan sedikit mengacuhkan rasa iba untuk memberi. Tetapi apa mungkin mengingatkan masyarakat agar tidak membiasakan memberi sedekah atau sumbangan di jalanan, sebab hal ini yang menjadi faktor berkembangnya jumlah anjal dan pengemis? Mungkin fenomena ini akan tetap berkembang selama kota masih menjadi tumpuan.***

Penulis, "civitas" Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

dimuat di PIKIRAN RAKYAT, edisi 14 September 2009

Pengembangan Daerah Berbasis Kemandirian

Pembangunan yang dilakukan negara-negara berkembang secara umum merupakan suatu proses kegiatan yang direncanakan dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi, perubahan sosial dan modernisasi bangsa untuk mencapai peningkatan kualitas hidup manusia dan kesejahteraan rakyat (diadaptasi dari Agus Suryono: 2001).

Bertitik tolak dengan hal tersebut maka pembangunan dimaknai sebagai proses perubahan sosial menuju ketataran kehidupan masyarakat yang lebih baik; selain itu juga pembangunan dapat dikatakan sebagai upaya manusia yang sadar, terencana dan melembaga; Sebagai proses sosial yang bebas nilai (value free); Memperoleh sifat dan konsep transendental, sebagai meta-diciplinary phenomenon, bahkan memperoleh bentuk sebagai ideologi (the idology of develommentalism); Sebagai konsep yang sarat nilai (value loaded), menyangkut proses pencapaian nilai yang dianut suatu bangsa secara makin meningkat; Pembangunan menjadi culture specific, situation specific dan time specific (Tjokrowinoto : 1987)

Pembangunan seharusnya merupakan suatu proses yang saling terkait antara proses pertumbuhan ekonomi, perubahan sosial dan demokrasi politik yang terjadi dalam lingkaran sebab akibat kumulatif (circular cumulative causation) (Myrdal, 1956, dari Agus Suryono, 2001)
Dalam pelaksanaan pembangunan di negara-negara berkembang tidak terlepas pula dari teori-teori pembangunan yang dipergunakan sebagai acuan dalam perencanaan, pelaksanaan maupun menilai dan mengukur kinerjanya. Teori pembangunan yang diterapkan adalah teori pembangunan yang berusaha memecahkan masalah yang dihadapi oleh negara-negara yang sedang berkembang yang tentunya berbeda dengan teori pembangunan di negara yang telah maju, karena berbagai faktor yang mempengaruhi, salah satunya misalnya untuk negara miskin (sedang berkembang) menghadapi persoalan bagaimana mempertahankan hidup (survival) sedangkan di negara yang sudah maju (adi kuasa) yang telah mencapai kemapanan sosial ekonominya (establish) persoalan yang dipikirkan adalah bagaimana mengembangkan politik prestisenya atau bahkan bagaimana benar-benar menjadi “polisi dunia” dalam semua aspek kehidupan baik politik, ekonomi, sosial budaya, ilmu pengetahuan, teknologi, maupun militer dari bangsa-bangsa di dunia (diadaptasi dari Agus Suryono: 2001).

Krisis ekonomi 1998 ditenggarai merusak sendi-sendi perekonomian nasional, ditandai dengan hancurnya kepercayaan terhadap perbankan Indonesia yang disebabkan penarikan dana secara besar-besaran oleh deposan yang kemudian diikuti pelarian modal ke luar negeri. Pada kondisi ini beberapa perusahaan nasional mengalami bangkrut akibat hutang yang semakin bertambah. Hampir semua kegiatan usaha mengalami kemandegkan, karena tingkat suku bunga mencapai 70%. Belum lagi ditambah permasalahan naiknya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika yang mencapai 500% (Kompas, 8 September 2004).

Akibat pelarian modal keluar negeri, cadangan devisa negara menyusut secara drastis. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negar mengalami defisit yang besar dan tidak mungkin dibiayai oleh kemampuan sendiri, karena hurang negara dan obligasi semakin membengkak. Hilangnya kepercayaan membuat harga saham di pasar modal turun tajam, sehingga menimbulkan kerugian besar masyarakat dan inverstor.

Pengangguran melonjak karena angkatan kerja semakin bertambah, sedangkan ekonomi nasional mengalami kebekuan. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal tidak dapat dihindari. Tetapi dibalik permasalahn tersebut, justru sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah UMKM) lah yang dapat bertahan. Berkat keuletan dan kemampuannya, UMKM telah membantu perekonomian bangsa baik di masa krisis maupun di masa pemulihan perekonomian Indonesia.
Menurut R. Maulana Ibrahim, ada empat aspek peranan yang dimiliki UMKM saat itu. Pertama, jumlah industrinya yang besar yaitu mencapai 42,3 juta unit usaha atau 90,9% dari total unit usaha dan terdapat dalam setiap sektor ekonomi (BPS, 2003). Kedua, potensinya yang sangat besar dalam penyerapan tenaga kerja yang mencapai 78,0 juta tenaga kerja atau 99,4% dari total angkatan kerja. Ketiga, kontribusi UMKM dalam pembentukkan PDB cukup signifikan yakni sebesar 56,7% dari total PDB. Keempat, memiliki sumbangan kepada devisa negara dengan nilai ekspor mencapai Rp 75,8 triliun atau 19,9% dari total nilai ekspor Indonesia.

Menyimak besarnya potensi tersebut, sektor usaha mikro telah mendudukan dirinya dalam posisi dan peran yang sangat strategis dalam perekonomian Indonesia. Ternyata peranan usaha mikro semakin dituntut untuk bisa menopang perekonomian daerah, dimana dengan pemberlakuan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, yang kemudian direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004 memberikan ruang bagi usaha ini untuk bisa menjadi salah satu ujung tombak sumber pendapatan bagi daerah. Namun walau demikian, keberhasilan untuk bertahan dalam masa krisis tidak serta merta menjadikan sektor ini mampu berkembang dengan baik. Banyak faktor yang mempengaruhi lambannya perkembangan usaha tersebut, antara lain perhatian dari pemerintah dan kalangan perbankan yang dirasakan masih kurang terutama dalam upaya pembiayaan, pengembangan, dan juga pendanaan kepada sektor ini.

Seiring perjalanan, ternyata kehadiran pemerintahan yang semakin berpihak kepada sektor Mikro untuk dapat mengatasi kemiskinan dan pengangguran terlebih untuk daerah-daerah pemekaran. Melihat hal ini semua, mau tidak mau pemberdayaan usaha mikro untuk menopang pembangunan daerah harus menjadi hal yang utama untuk dilakukan.

Permasalahan yang Timbul

Sesuai dengan kebijakan pemerintah untuk memberdayakan sektor usaha mikro agar menjadi lebih efisien, produktif dan berdaya saing menjadi sangat penting, terutama dalam usaha peningkatan kesejahteraan masyarakat daerah-daerah pemekaran (baru). Ternyata di satu sisi masih mempunyai permasalahan yang signifikan.

Permasalahan tersebut terdapat pada kendala-kendala bagi usaha mikro dalam pertumbuhan dan perkembangannya menuju usaha yang lebih besar, maju, dan mampu berkompetisi di pasar global, yaitu.

Pertama, dari Aspek Permodalan Usaha, termasuk diantaranya; modal dari pihak luar (bank) sangat kecil. Hal ini berkaitan dengan persyaratan untuk memperoleh modal sulit dipenuhi oleh pengusaha yang kebanyakan bergerak di sektor informal, tingkat pengembalian pinjaman relatif rendah dan terbatasnya kemampuan untuk menghimpun dana dengan kemampuan sendiri. Permasalah ini lebih disebabkan masih adanya persepsi keliru dari pihak pemberi dana, yang menganggap Usaha Mikro sebagai debitur yang “merepotkan”, berisiko tinggi dan kurang menguntungkan serta menimbulkan biaya overhead yang cukup besar untuk melayaninya. Persepsi ini timbul karena terbatasnya pemahaman pada sebagian besar bank mengenai karakteristik Usaha Mikro. Selain itu, orientasi bank selama ini yang terfokus kepada segmen korporat yang berakibat pada minimnya Sumberdaya Manusia yang kompeten dalam menangani debitur Usaha Mikro. Di sisi lain, jaringan kantor bank juga masih terbatas baik dalam jumlah maupun penyebarannya sehingga sulit menjangkau sentra-sentra pengusaha mikro di pelosok daerah.

Aspek kedua adalah menyangkut Pemasaran dan Distribusi Produk. Sistem pengelolaan yang masih sederhana, masih tergantung figure dari pada sistem manajerial yang baik, jika ada peluang besar kemampuan untuk mengisi terbatas, belum dimanfaatkannya teknologi informasi dalam pemasaran.

Ketiga adalah Aspek Sumberdaya Manusia sendiri, yang mencakup diantaranya kualitas sumberdaya manusia yang masih sangat rendah, tingkat profesional yang masih rendah, belum menggunakan teknologi informasi secara maksimal, belum dimanfaatkannya bentuk kerjasama seperti: korporasi, perusahaan terbatas secara intensif. Dengan adanya keterbatasan kemampuan sumberdaya manusia inilah yang menyebabkan perbankan sulit menyelesaikan persyaratan administratif. Pada dunia perbankan untuk dapat mengakses kredit, usaha mikro harus mempunyai pembukuan yang jelas sehingga perbankan dapat dengan jelas mengetahui informasi mengenai usaha dan prospeknya. Tetapi pada umumnya hal ini tidak dimiliki oleh usaha mikro.

Mengingat proposi perannya yang begitu besar dan menyangkut banyak tenaga kerja yang terlibat dalam usaha tersebut, oleh karena itu pemerintah berusaha mencarai best pratices pengembangan dan penyelenggaraan lembaga dan sistem pembiayaan usaha mikro yang dikembangkan melalui berbagai pendekatan.

Pemberdayaan Usaha Mikro

Pemberdayaan adalah kata yang mulai dikenal pada tahun 1970-an dan lebih terkenal lagi di era 1990-an. Kata itu terus bergema baik di surat kabar, pada diskusi atau seminar mengenai pembangunan. Pemberdayaan jika ditelaah dari tujuannya berusaha untuk membuat seseorang atau kelompok menjadi lebih mengetahui potensi dan kendala yang dimiliki kemudian menjadikan sebagai dasar tindakan atau aksi memperbaiki hidup.

Pemberdayaan merupakan sebuah konsep dimana adanya kemampuan untuk menganalisis permasalahan dan potensi serta diimplementasikan dalam rangka memperbaiki hidup. Pemberdayaan akan mengakibatkan proses perubahan sosial yang memungkinkan suatu kondisi menjadi lebih berdaya dalam menjalani hidupnya. Di sini masyarakat yang diberdayakan jadi paham betul mengenai kondisi lingkungan sekitarnya dan dirinya sendiri. Mereka bertindak dalam rangka untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dengan menyadari terlebih dahulu kekuatan yang ada pada diri dan lingkungannya.

Dengan memperhatikan indikasi permasalahan, maka perbaikan sektor usaha mikro pada dasarnya bertujuan untuk penataan peranan usaha mikro pada kondisi yang memungkinkan sehingga dapat menyangga sistem kehidupan secara seimbang, dinamis dan berkelanjutan (sustainable), terutama bagi pembangunan daerah.

Pembinaan dan pengembangan sektor usaha mikro untuk konteks waktu sekarang ini dituntut untuk lebih transparasi, akuntabilitas, dan networking sehingga kontrol masyarakat semakin ketat.

Dalam Bidang Pemberdayaan Usaha Kecil, Menengah dan Koperasi Pertama, peningkatan nilai tukar petani yang dapat memberi insentif bagi kegiatan pertanian, khususnya dalam produksi pangan, agar tingkat kesejahteraan petani dapat diperbaiki secara luas dan terjadi peningkatan produksi secara berarti untuk mengurangi tingkat ketergantungan kepada impor pangan dari luar negeri. Erat kaitannya dengan kebijaksanaan ini pemerintah juga menjamin harga dasar pendapatan petani, khususnya para petani penghasil padi.

Kedua, dalam rangka menciptakan mekanisme pasar yang dapat menciptakan efisiensi alokasi sumber daya ekonomi, pemerintah telah mendorong agar usaha kecil, menengah dan koperasi dapat lebih terlibat di dalam sistem distribusi nasional. Upaya ini dimaksudkan pula agar penentuan harga secara secara sepihakoleh pelaku ekonomi besar, yang dapat menciptakan ekonomi biaya tinggi, dapat dihindarkan.

Upaya ini telah membuahkan hasil, dengan terjadinya penurunan secara berarti berbagai harga kebutuhan pokok, sehingga dalam tiga bulan terakhir tahun 1998 inflasi dapat ditekan secara berarti.

Ketiga, memberikan pelayanan secara lebih mudah dan sederhana, namun dengan tetap mempertimbangkan kaidah penyaluran kredit secara sehat kepada sektor usaha kecil, menengah dan koperasi. Kebijakan ini penting artinya agar pengangguran terbuka dapat diatasi dengan peningkatan tingkat penyerapan kesempatan kerja disekor usaha kecil, tatkala banyak usaha besar ini masih memerlukan waktu untuk dapat bangkit kembali. Kebijakan ini juga penting sebagai bagian dari upaya untuk pengentasan kemiskinan secara berkelanjutan.

Keempat, mendorong berbagai usaha yang berbasis pada sumber daya alam Indonesia –khususnya yang berorientasi ekspor—agar kelompok usaha ini dapat berkembang seiring dengan upaya peningkatan peranan usaha kecil, menengah dan koperasi secara langsung, maupun melalui program kemitraan dengan usaha besar. Erat kaitannya dengan kebijaksanaan ini adalah upaya untuk melaksanakan pemerataan kesempatan berusaha, peningkatan nilai tambah melalui pengembangan industri pengolahan, serta memperluas jangkauan untuk pemasaran internasional.

Selanjutnya, upaya untuk mendorong pengembangan Usaha Kecil, Menengah, dan Koperasi (UKMK) yang mempunyai peran yang signifikan dalam menggerakkan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja tetap menjadi prioritas. Aktivitas ekonomi UKMK yang berjumlah sekitar 41,4 juta unit (99,9 persen dari total jumlah usaha secara nasional) pada tahun 2002 merupakan wujud partisipasi bagian terbesar masyarakat dalam peningkatan kesejahteraan nasional. Di samping itu, sampai dengan akhir tahun 2002, UKMK mampu menyerap 99,5 persen dari seluruh tenaga kerja nasional yang bekerja, meliputi 88,7 persen di usaha kecil dan 10,8 persen di usaha menengah.

Kontribusi UKMK terhadap pembentukan produk domestik bruto (PDB) non-migas pada tahun 2002 mencapai 63,9 persen. Produktivitas UKM meningkat namun masih terdapat kesenjangan produktivitas yang lebar antara UKM dan usaha besar. Apabila diukur berdasarkan perbandingan antara nilai tambah (PDB) non-migas dengan jumlah unit UKM, produktivitas per unit usaha untuk usaha kecil dan usaha menengah masing-masing mencapai Rp16,0 juta dan Rp4,0 milyar sedangkan untuk usaha besar mencapai Rp233,6 milyar.

Upaya penciptaan iklim yang kondusif bagi UKMK pada tahun 2002 sudah menunjukkan kemajuan dibandingkan dengan tahun 2001. Beberapa daerah sudah berupaya menyederhanakan perijinan melalui pengembangan One-Stop Service (pelayanan terpadu) dan merevisi peraturan-peraturan yang menghambat sekaligus berusaha mengurangi dampak negatif yang mungkin ditimbulkannya. Namun masih banyak daerah lain yang menganggap UKMK sebagai sumber pendapatan asli daerah dengan mengenakan pungutan-pungutan baru bagi UKMK sehingga biaya transaksi UKMK meningkat. Di tingkat nasional, upaya memperkuat landasan hukum bagi UKMK dilakukan dengan penyusunan RUU Usaha Mikro, Kecil dan Menengah untuk mengganti UU No. 9 Tahun 95 tentang Usaha Kecil dan Inpres No. 10 Tahun 99 tentang Usaha Menengah, dan dilanjutkannya penyelesaian RUU tentang Koperasi sebagai perubahan terhadap UU No. 25 Tahun 92. Upaya-upaya penyempurnaan iklim usaha tersebut dilanjutkan dalam tahun 2003 dan perlu semakin ditingkatkan dalam tahun 2004.

Beberapa upaya dalam rangka peningkatan akses UKMK terhadap sumberdaya produktif pada tahun 2002 juga menunjukkan perkembangan yang positif. Pada pertengahan tahun 2002 telah dimulai upaya pengembangan sistem informasi kredit dan biro kredit, serta fasilitasi penyelesaian hutang UKM melalui penerbitan Keppres No. 56 Tahun 2002 tentang Restrukturisasi Kredit UKM. Selain itu, tercatat peningkatan kapasitas perbankan dalam penyaluran kredit kepada UKM, serta peningkatan fasilitasi pembiayaan dari pemerintah dalam bentuk dana bergulir, dan penjaminan kredit bagi 494 UKMK di 17 propinsi. Namun demikian, masih dibutuhkan adanya pemantauan dan evaluasi yang lebih baik terhadap pelaksanaan Keppres Nomor 56/2002, partisipasi perbankan dalam penyaluran kredit, dan pengelolaan dana bergulir sehingga tepat sasaran, transparan dan bertanggung-gugat. Selanjutnya berkenaan dengan Surat Utang Pemerintah (SUP) Nomor SU-005/MK/1999, telah disalurkan sebesar Rp850 milyar bagi pendanaan KKPA-TR dan Kkop-Pangan dari dana SUP yang tersedia sebesar Rp3.097,9 milyar. Dalam rangka mendukung pendanaan kredit kepada usaha mikro dan kecil, pemanfaatan dana SUP direncanakan untuk ditingkatkan yang disertai dengan perbaikan mekanisme dan persyaratan penyalurannya dengan memperhatikan baik aspek kepentingan usaha mikro dan kecil maupun aspek kolektibilitas pengembalian kredit.

Perkembangan akses UKM terhadap sumberdaya produktif non-finansial selama tahun 2002 di antaranya ditandai dengan peningkatan ketersediaan penyedia jasa layanan pengembangan usaha (business development services-BDS) baik yang difasilitasi pemerintah (pusat dan daerah) maupun swasta; dan tumbuhnya klaster/sentra UKM di berbagai daerah. Pengembangan klaster/sentra di berbagai daerah yang diintegrasikan dengan pengembangan BDS juga terkait dengan upaya peningkatan kewirausahaan dan daya saing UKMK. Fasilitasi bagi BDS dan sentra disediakan dalam bentuk dukungan modal awal padanan (matching fund) bergulir, bantuan teknis (pendampingan dan pelatihan), dan pengembangan jaringan BDS.

Pada tahun 2002, telah dikembangkan 332 sentra UKM dan BDS di seluruh Indonesia. Sementara itu, upaya peningkatan perilaku kewirausahaan dan daya saing UKMK terus dilanjutkan dalam tahun 2002, terutama melalui fasilitasi kegiatan pelatihan, magang, serta perkuatan kebijakan dan modul/kurikulum diklat kewirausahaan, pengelolaan usaha dan perkoperasian. Permasalahan internal yang melekat pada UKMK sampai saat ini belum tuntas tertangani, seperti rendahnya kualitas sumber daya manusia dalam hal kemampuan manajemen, organisasi, teknologi, dan pemasaran; lemahnya kompetensi kewirausahaan; dan terbatasnya kapasitas UKM untuk mengakses permodalan, informasi teknologi dan pasar, serta faktor produksi lainnya. Selain itu, tantangan perdagangan bebas yang semakin besar terutama setelah pemberlakuan AFTA pada tahun 2003 membutuhkan perbaikan iklim usaha, terutama di bidang perdagangan dalam negeri dan investasi.

Melihat permasalahan dan tantangan ke depan dan percepatan transformasi struktural dan pertumbuhan ekonomi yang sekaligus menciptakan lapangan kerja, kerangka pemberdayaan UKMK tahun 2004 akan lebih diprioritaskan pada langkah-langkah untuk mempercepat pembenahan kelembagaan termasuk kebijakan dan regulasi yang bersifat lintas sektor dan lintas wilayah terutama yang merupakan disinsentif bagi UKMK, memperluas berkembangnya institusi pendukung seperti teknologi, jaringan pemasaran dan skema pembiayaan. Di samping itu, perhatian yang besar juga ditujukan untuk mengembangkan lebih lanjut UKM orientasi ekspor, UKM dengan kandungan nilai tambah tinggi terutama yang menggunakan sumberdaya alam/lokal, serta usaha menengah yang merupakan supporting industry.

Sejalan dengan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin, pengembangan usaha skala mikro secara lebih meluas dilakukan dengan meningkatkan kegiatan pelatihan, bantuan teknis, dan meningkatkan akses ke sumberdaya ekonomi termasuk pengembangan lembaga keuangan mikro (LKM). Upaya tersebut juga disertai dengan memberikan kesempatan usaha bagi kelompok masyarakat miskin dan penganggur yang memiliki keterbatasan untuk berpartisipasi dalam arus ekonomi utama, dan berwirausaha secara formal untuk mendapatkan penghasilan yang tetap. Selain itu, untuk memperkuat kedudukan LKM, saat ini sedang dipersiapkan penyusunan RUU tentang LKM.

Lebih jelasnya bentuk kebijakan dan pola pemberdayaan usaha mikro dapat dilaksanakan sebagai berikut;

Bentuk Kebijakan

1. Bentuk kebijakan keterbukaan atau tidak eksklusif.
Pemberdayaan usaha mikro tidak semata-mata didasarkan pada kondisi objektif yang ada tetapi juga harus mampu mengatasi kecenderungan dinamika global, seperti pasar bebas, globalisasi informasi dan kecenderungan otonomi daerah.

2. Bentuk kebijakan integrative dan aplikatif.
Bentuk kebijakan ini didasrkan pada pengalaman yang sudah-sudah, di mana kebijakan pembangunan usaha mikro tidak incule dalam kebijakan pembangunan secara umum, hanya merupakan efek samping dan kuratif. Dan kebijakan integeratif tersebut benar-benar dapat direalisasikan oleh usaha mikro.

3. Kebijakan yang terfokus dan terarah.
Kebijakan pemberdayaan usaha mikro harus terfokus dan terarah dan sesuai dengan visi, misi, dan sasaran usaha mikro.

Penutup

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan pembangunan daerah dengan penerapan konsep pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) didukung dengan pendekatan pembangunan manusia (human development), sebagai manifestasi paradigma pembangunan manusia (people centered development paradigm) diperlukan beberapa persyaratan yaitu :

1. Perubahan mendasar sikap dan karakter aparatur pemerintah yaitu mengembangkan kepekaan (responsiveness), bertanggungjawab (responsibility) baik objective responsibility (3 E) maupun subjective responsibility (2E & F) dan representatif (representativeness) yaitu tidak menyalahgunakan wewenang (power abuse) maupun melampaui wewenang yang dimiliki (excessive power) dalam pelaksanaan tugas;

2. Keseimbangan aktualisasi peran elemen-elemen “Trias Politica”yang berarti tidak adanya dominasi atau lemahnya salah satu elemenpun apakah eksekutif, legislatif maupun yudikatif;

3. Penerapan sistem “desentralisasi” secara proporsional yang berarti kemampuan pemerintah daerah mengembangkan potensi daerah untuk kepentingan publik.

Implikasi dan Saran

Ada tiga saran yang dapat menjadi masukan bagi pemerintah maupun bagi legalitas dan system administrasi lembaga keuangan (bank), dan bagi penyelenggaraan Usaha Mikro.

a) saran-saran yang berkaitan dengan Kebijakan Pemerintah.
- Pemerintah sebaiknya mempunyai system kelembagaan yang komperhensif yang mampu digerakkan secara bersama dengan koordinasi menteri Negara koperasi usaha kecil dan menengah.
-Perlu adanya kebijkan dalam perdagangan dan industri yang berorintasi pada ekspor dan import dengan hubungan kerja yang didukung oleh potensial usaha mikro di dalam Negara.
-Investasi asing (joint venture, transfer of technology, sub-kontrak dan bentuk lain yang sejanis) yang membawa keuntungan bagi Negara sebaiknya didorong dengan kesempatan dan perlakuan sama terhadap investasi asing seperti diatas bagi perkembangan perusahaan kecil dan menengah dalam jangka panjang.

b) saran-saran yang berkaitan dengan legalitas dan system administasi lembaga keuangan (bank)
- legalitas dan system administrasi yang berkaitan dengan usaha mikro sebaiknya ditempatkan di tiap-tiap propinsi atau kabupaten/kota sesuai dengan paradigma otonomi daerah. Hal ini dilakukan untuk mengurangi dampak sentralisasi dan panjangnya birokrasi administrasi
- Perlu adanya bank yang dapat menjangkau di mana para pelaku usaha mikro berdomisili. Hal ini terutama dapat dilakukan oleh bank pembangunan di daerah-daerah.

c) saran-saran yang berkaitan dengan implementasi penyelenggaraan Usaha Mikro.
- Untuk menjangkau masyarakat pelaku usaha mikro yang miskin, dan terbatas asset dan fasilitas yang dimiliki, pemerintah daerah perlu mengembangkan model dimana masyarakat miskin dapat memperoleh pinjaman karena mereka memperoleh rekomendasi dari guarantee offices. Rekomendasi ini dapat direalisasi melalui tokoh agama, tokoh masyarakat, dan sebagainya.
-Disamping bantuan dana, sebaiknya pemerintah juga memberikan bantuan teknis dan pembinaan moral.
-Bantuan teknis yang berbentuk program traning, kursus bantuan alat teknologi, sebaiknya tidak diberikan secara Cuma-Cuma, tetapi dengan biaya murah atau memperoleh subsidi dari pemerintah.
-Perlu adanya system pengecualiaan kewajiban membayar pajak bagi pelaku usaha mikro yang baru berdiri samapai batas waktu ditentukan oleh peratutan daerah yang ada.

Penulis adalah Peneliti Muda Kebijakan dan Perkembangan Iptek – LIPI, Jakarta

dimuat di MAJALAH TERAS, edisi September 2009

Kamis, 10 September 2009

Riset Untuk Penguatan Pangan

Oleh Prakoso Bhairawa Putera

Masa depan pangan Indonesia bisa ditentukan dengan riset, dengan catatan adanya tata kelola yang baik, yakni adanya relasi antara pemerintah, perguruan tinggi, petani, dan swasta bisa berlangsung secara seimbang

SEJAK setahun lalu, harga pangan dibelahan dunia benar-benar melonjak tinggi. Tercatat mulai 2005 hingga sekitar Agustus 2008, harga gandum dan jagung naik tiga kali lipat, sementara harga beras lima kali lebih mahal. Kenaikan ini serta merta menjadikan 20 negara kebingunan dan 75 juta jiwa penduduk mulai kesulitan pangan.

Namun bila dicermati, kenaikan ini terjadi ketika para petani penghasil pangan dunia sedang mengalami surplus terbanyak dalam sejarah. Beberapa peneliti di bidang pangan dunia seperti yang dilaporkan oleh National Geographic Indonesia (Juni 2009) menyadari bahwa sepanjang 10 tahun terakhir, penduduk dunia telah mengkonsumsi pangan 10 kali lipat lebih banyak dari pada yang dihasilkan oleh petani.

Kondisi semacam ini merupakan pengulangan yang terjadi pada periode 1943. Ketika itu tidak lebih empat juta penduduk meninggal di Benggala India. Kondisi ini kemudian berangsur membaik setelah selama dua dasawarsaa India mengimpor bahan pangan untuk asupan penduduknya. Revolusi Hijau hadir di era 1960-an dengan kerja keras peneliti India dibantu oleh Norman Borlaug seorang pemulia tanaman AS. Hasilnya tak tanggung-tanggung, pada 1970 petani di India berhasil memanen ladangnya tiga kali lipat.

Keberhasilan ini merupakan sebuah contoh dimana pelibatan peneliti untuk menghasilkan hasil tanaman yang bisa membawa kemakmuran di suatu negara telah diterapkan secara baik. Oleh karena itu, riset untuk penguatan pangan sangat diharapkan untuk menjadikan negeri ini swasembada pangan.


Riset Pangan

Ironis benar jika menyaksikan sebuah negara agraris melakukan impor terhadap kebutuhan pangan, mulai dari gandum, kedelai, jagung, susu, gula, bahkan beraspun masih impor. Sebenarnya sejak revolusi hijau bergulir di Indonesia, kegiatan pertanian dan pemenuhan produksi pangan telah mengarah pada paket teknologi produksi baru. Paket ini telah mengubah corak bertani masa lalu yang serba organik, terpadu dan berbasis potensi serta kearifan spesifik lokal menjadi serba kimiawi, monokultur, padat asupan dari luar dan serba diseragamkan. Seiring hal tersebut juga terjadi sawahisasi, berasisasi dan racunisasi. Pada tataran ini segenap potensi lokal sumberdaya petani telah dihilangkan secara sistematis dari cara pandang, pengetahuan dan sistem kewargaan Bangsa Indonesia.

Sistem seperti ini disadari sebagai pola yang tidak berwawasan pembangunan berkelanjutan, akhirnya banyak petani mencoba kembali pada lokalitas dan pengembangan dengan inovasi kekinian. Pada tataran lain peneliti-peneliti yang selama ini berkutat dengan kemampuan di laboratorium ataupun lapangan mulai mencari-cari formula yang tepat untuk menghasilkan produk pangan untuk mendukung hasil produksi pangan yang lebih baik.

Secara makro, jika berbicara riset maka hal yang perlu disadari bahwa kegiatan riset bukanlah wilayah otonom, tetapi berdiri sebagian bagian dari desain besar kebijakan pembangunan ekonomi yang memang merupakan wilayah politik.

Kalimat tersebut bukanlah karangan belaka, riset pangan telah membuktikan. Sebagai contoh; kemajuan riset pangan di Thailand merupakan pilihan dari keputusan politik kerajaan yang mencanangkan Thailand sebagai Kitchen of the World. Begitu pula meningkatnya gairah riset pangan di Indonesia tahun 1970-1980-an sebagai konsekuensi dari keputusan politik rezim Orde Baru untuk mewujudkan swasembada beras.

Sependapat dengan Arif Satria (2008) bahwa dunia riset memang punya kelemahan, tetapi ketika arah kebijakan pembangunan ekonomi tidak jelas tentu akan menyebabkan arah riset juga tidak jelas dan alokasi dana untuk riset juga tidak berdasarkan prioritas. Sehingga, perguruan tinggi dan lembaga-lembaga riset juga melakukan kegiatan riset sendiri-sendiri dengan agenda yang berbeda-beda.

Sebenarnya pemerintah telah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 68 tahun 2002 sebagai pijakan implementasi kebijakan pengembangan teknologi sektor pangan. Inovasi dalam bentuk perbaikan teknologi memiliki pilar besar yakni adanya kebutuhan untuk aktivitas riset. Kondisi ini disadari betul oleh pemerintah dengan adanya respon dari Kementerian Riset dan Teknologi dengan dikeluarkannya Buku Putih pengembangan pangan Indonesia 2005-2025. Lebih jauh kebijakan tersebut dilanjutkan dengan diterbitkannya Agenda Riset Nasional (ARN) yang didalamnya berisi acuan kegiatan riset di bidang pangan untuk 2005-2009.

Namun, sangat disayangkan lima tahun ARN berjalan, pelaku riset tidak dapat memaksimalkan arah dari agenda tersebut.

Hasil penelitian Sri Rahayu, dkk (2009) menjelaskan sektor pangan Indonesia, selama ini telah melakukan pengembangan teknologi pangan di enam bidang kajian besar yang meliputi (1) teknologi budaya tanaman, ternak dan ikan,;(2). Teknologi pengolahan pangan;(3) teknologi panen dan pascapanen;(4) teknologi pengujian mutu dan keamanan pangan;(5). Kajian sosial budaya pangan; dan (6) riset sains dasar. Untuk bidang kajian 1,2, dan 3, kecenderungan kegiatan riset di Indonesia telah mencapai tingkatan uji prototipe. Sedangkan pada bidang kajian sosial budaya dan pangan sebagian riset di Indonesia mengulas tentang kajian teoritik dan kajian kebijakan. Di sisi lain, kajian riset sains dasar merupakan kajian yang masih fokus pada pengujian teoritis.

Masa depan pangan Indonesia bisa ditentukan dengan riset, dengan catatan adanya tata kelola yang baik, yakni adanya relasi antara pemerintah, perguruan tinggi, petani, dan swasta bisa berlangsung secara seimbang. Pemerintah memiliki institusi riset sendiri, begitu pula perguruan tinggi dan swasta. Ketiganya jarang ada koordinasi, komunikasi, dan kolaborasi. Akibatnya akumulasi kekuatan tidak terjadi, agenda riset tumpang tindih dan duplikatif, dan efisiensi-efektivitas rendah, padahal SDM peneliti kita sangat handal yang tak kalah dari negara lain.***


dipublikasi di Bangka Pos, edisi 09 September 2009


Senin, 24 Agustus 2009

MENGGAGAS MASYARAKAT KOMUNIKATIF

UNTITLED karya Dikdik Sayahdikumullah.* dok. Ahda Imran


DEWASA ini kehidupan bangsa yang majemuk mengalami krisis. Reduksi sikap toleransi dan pengertian untuk saling memahami satu sama lain telah nyata mengancam pluralisme kebangsaan. Hilangnya kesadaran untuk saling menghargai dalam ruang publik telah menyurutkan langkah konkret mewujudkan persatuan yang sinergis. Bahkan, setiap kelompok (primordialistik) menunjukkan apatisme sosial yang saling berlawanan. Ketiadaan mediasi serta solusi penyelesaian terhadap masalah ini justru akan membawa jurang perpecahan yang semakin lebar, dan akhirnya tidak jelas juntrungannya.

Perkembangan kehidupan mutakhir tersebut jelas sangat tidak menguntungkan, khususnya terkait dengan upaya perekatan sosial (social integration). Musuh bersama yang sekarang menantang di depan mata sesungguhnya ialah rintangan berupa sikap absolutisme yang akut itu. Yakni, sikap yang terus merangsang sebuah klaim kebenaran yang mutlak dan terus dipaksakan ke ruang publik sebagai kebenaran yang tunggal dan monolitik. Dalam berbagai varian kehidupan sosial, realita ini muncul sebagai penguasaan wacana publik di antara berbagai pertarungan nilai. Absolutisme dengan retorika yang menggebu-gebu, padahal sarat kosong makna, kemudian hadir seolah-olah telah menghipnotis masyarakat.

Resultan yang diperoleh pada gilirannya ialah terjadi eksklusi sosial di tengah keterbukaan ruang publik. Sebuah gejala perpecahan sekat sosial semakin runcing dengan statisme model eksklusi sosial ini. Masing-masing kelompok yang berbeda dalam keadaan ini begitu sulit untuk menerima titik temu secara dialogis dan komunikatif, sehingga meniscayakan kekerasan, baik kekerasan simbolik berupa pertarungan ruang diskursif maupun kekerasan fisik yang dipakai sebagai logika penyelesaian masalah tanpa pikir panjang. Pada urutannya, lahirlah "otoritarianisme" dalam kehidupan sosial.

Ironi pluralisme yang terkoyak tersebut jelas menjadi defisit demokrasi serta demokratisasi kehidupan bangsa. Bukan saja sikap memutlak-mutlakkan secara logis bertentangan dengan logika demokrasi, namun lebih dari itu demokratisasi gagal justru melalui ketidakmampuan publik mengembangkan inklusivisme sosial yang mengarah ke perwujudan pluralisme yang sejati. Demokrasi merupakan "balairung" dari berbagai pintu kelompok yang amat beragam. Demokrasi bukan dimainkan melalui kekuasaan oligarki yang mengusung perbedaan. Setiap kelompok yang berbeda, dalam demokrasi, mestinya bermain secara fair dan rasional dalam kontestasi yang terbuka dan dialogis-partisipatif. Keluwesan disertai strategi perekatan sosial merupakan arena demokrasi yang sejati.

Kewargaan yang beradab

Nestapa bangsa Indonesia yang dirundung krisis demi krisis, musibah demi musibah, konflik demi konflik, hingga aksi anarkistis dewasa ini harus dihentikan. Minimal ada upaya untuk mencegah noktah hitam itu terus mengotori pakaian kebangsaan kita. Sudah tidak terhitung lagi berapa banyak kerugian yang harus dibayar dengan energi yang amat melelahkan, sementara kekuatan membangun bangsa belum optimal.

Jilid-jilid penderitaan mungkin tidak disadari (lagi) telah mengoyak kesatuan bangsa. Bayangkan, selain ragawi bangsa yang terus didera konflik dan ujian, kemiskinan dan peminggiran masyarakat masih menganga lebar, ternyata jiwa bangsa juga ikut terkoyak. Lebih tepatnya, hilangnya spirit membangun jiwa bangsa yang disodorkan oleh tata laku yang beradab, tepa selira, dan kedamaian. Betapa tidak? Tak ada penyelesaian akhir kecuali banyak yang memakai logika kekerasan. Tak ada solusi dialogis kecuali dengan egoisme melalui pembenaran diri, dan yang lain dipandang berdosa, salah, atau bahkan sesat. Tak ada pemecahan yang damai kecuali dengan budaya sektarian yang memecah-belah tanpa harus menyadarinya.

Kalau ditarik benang krisis dari problem tersebut, tidak terlalu salah jika yang terjadi sejatinya ialah kekeringan spiritual berbangsa. Buana kearifan yang berpangkal pada nilai-nilai transendental dalam Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika luruh oleh penodaan-penodaan. Ada sesuatu yang hilang dari sini, yaitu darma kebajikan antarsesama untuk membangun kesatuan di tengah khazanah kemajemukan. Krisis yang amat fundamental ini mesti disadari betul sebagai kehilangan ruh yang menjadi daya penggerak kehidupan bangsa.

Ikatan sejati di tengah perbedaan melalui keadaban (genuine engagement of diversities within bonds of civility) sebagai inti sari paham kemajemukan bernama pluralisme, buktinya, masih sebatas simbol belaka. Hilangnya spirit menegakkan cita-cita persatuan dan kesatuan dengan demikian menjadi tertunda, bukan tidak menyebut terhenti. Di atas hamparan bumi nusantara yang sangat berharga ini, berapa banyak yang masih mengupayakan kebersamaan? Bukan hanya kebersamaan dalam tampilan kasar berupa kebajikan yang kasat mata, melainkan juga kebersamaan dalam satu rasa dan nurani. Sebagai akibat menyusutnya ruh spiritual itu, lihatlah betapa banyak defisit nasionalisme (lack of nationalism) merekah menghancurkan sendi-sendi kehidupan, dan reduksi keberadaban (uncivilized) dengan kekerasan membuncah melumatkan gapura serta bangunan di dalamnya. Sebagai akibatnya, tenda kebangsaan merobek, sementara upaya merendanya hanya secuil .

Menyadari hal demikian, titik balik peradaban bangsa harus diarahkan menuju masa depan yang optimis. Biarpun banyak sekali derita dan nestapa, namun projek besar membangun bangsa harus terus diamanatkan. Oleh karena itu, upaya pertama yang mesti dilakukan ialah meraih common platform membangun kembali kebangsaan melalui revitalisasi secara berkelanjutan. Titik temu kesamaan ini sangat penting sebagai titik pijak bagi tenda besar kebangsaan dan kewargaan.

Langkah konkret

Hidup di negeri yang berslogan gemah ripah loh jinawi ini sepertinya tidak mudah lagi. Menghidupi diri tidak dengan gampang layaknya menanam kayu yang kemudian tumbuh dan dapat diolah menjadi bahan makanan seperti yang sering diajarkan nenek moyang. Mencari lahan untuk tinggal pun kita harus membayar tinggi jika tidak ingin kebagian tempat di bantaran kali atau tersudut di pojok hutan sambil menunggu digugat oleh petugas dan dimintai biaya untuk administrasi tanah. Bahkan kehidupan nyaman pun tak luput dari tragedi alam hingga lantas berhadapan dengan selalu semrawutnya penanganan pemerintah yang bahkan semakin memperlambat proses bantuan yang secara tulus disalurkan.

Seperti tidak cukup dengan tragedi alam yang kerap terjadi. Persoalan korupsi dan patologi mental birokrasi dan politik lainnya terasa belum maksimal. Usaha pemberantasan selalu dihadapkan dengan budaya yang telah tumbuh dan berkembang lama; menjadi sistemik, dan membangun pola kerangka berpikir pemerintah. Melawannya – meminjam salah satu buah pikir Milan Kundera – seperti ingatan yang berjuang melawan lupa. Maka, kemiskinan struktural terjadilah. Dan seperti yang dipesankan Nabi Muhammad saw., kemiskinanlah yang membawa kita menjadi seorang kufur, yang hatinya tertutup dari cahaya kebajikan alias penuh dengan niat dan tekad kriminal.

Akan semakin panjang dan lama bila masih ingin menyusun daftar "kekurangan" Indonesia. Akan semakin variatif pula ungkapan serupa "Malu Aku Jadi Orang Indonesia"-nya Taufik Ismail atau "Bangsaku yang Menyebalkan"-nya Eep Saefulloh Fatah. Namun, ajakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono seharusnya juga menjadi sikap kita, tidak hanya bencana yang melanda, tapi kondisi Indonesia secara keseluruhan. "Hanya satu tanah airku. Ia berkembang dengan amal, dan amal itu adalah amalku," begitu ucap Muhammad Hatta yang juga lebih baik menjadi gumam kita.

Sudah selayaknya generasi muda lebih memprioritaskan kebersamaan dalam kebhinnekaan, persatuan, kesatuan, dan kreativitas membangun bangsa. Karena generasi inilah yang berkewajiban menjalankan paradigma baru bangsa dengan potensi, kreativitas, optimisme, dan sikap kebhinnekaan yang mampu menguasai diri dalam ilmu pengetahuan dan teknologi serta tidak melupakan ajaran Ilahi. Untuk semua itu, perlu adanya persatuan di antara individu-individu bangsa ini, terlebih di antara generasi mudanya.

Sebagai kaum muda, harapan bangsa, pemuda wajib membangun kembali benteng persatuan yang sempat goyah. Untuk mengupayakan hal itu harus dimulai dengan komitmen kebangsaan, idealisme yang kuat akan keinginan untuk tetap berpegang teguh pada cita-cita kemerdekaan bangsa dan rasa persatuan kesatuan itu sendiri.

Jika mengkaji pemikiran intelektual, semacam gagasan George S. Counts yang meyakini sekolah sebagai salah satu basis pergerakan perubahan sosial, sungguh sangat menarik. Selama ini rasanya pendidikan di Indonesia (kembali) belum maksimal. Padahal untuk mengharapkan warga sekolah dapat menjadi agen perubahan, Counts sendiri mensyaratkan adanya komitmen kolektif – terutama dari pendidik – untuk memberikan teladan terhadap kesadaran akan tujuan dan visi bersama bangsa. Serta mengajarkan agar tak ragu dan kikuk berhadapan (bahkan menggunakan) kekuasaan yang dapat diraih, selama itu dalam kerangka memperjuangkan tegaknya visi bersama tersebut. Apabila pemikiran ini kita analogikan dalam sebuah konsep negara, maka kesadaran kolektif sepertinya harus terbangun guna prasyarat untuk mewujudkan sistem sosial dan politik yang tidak mendominasi; dalam bahasa filsafat politik Aristoteles, politik harus menjadi jalan mencapai kehidupan yang baik (good life). Tak ada dominasi satu pihak, yang diperlukan adanya paradigma kerja dan paradigma komunikasi.

Dalam perspektif masyarakat yang komunikatif, interaksi atau komunikasi yang berlangsung dua arah, dengan daya saling mengimbangi secara proporsional hanya akan terwujud jika prasyarat intelektual; kesadaran rasional, kemampuan komunikasi – itu terpenuhi. Jika tidak hegemoni yang berkuasa hanya akan menjadi warna dominan dan membuat proses kemajuan bangsa kembali mengalami degradasi.

Bekerja sama dapat menumbuhkan kebersamaan yang bermuara pada rasa persatuan dan kesatuan. Sebagai orang muda, jangan takut untuk minta maaf. Dalam kehidupan wajar jika terkadang kita melakukan kesalahan. Karena, bila masalah kecil kita biarkan maka lama kelamaan akan menjadi besar dan ini akan membahayakan persatuan kita bersama. Telah banyak contoh yang mengarah pada hal ini, akankah kita menambahnya? Oleh karena itu, generasi muda harus berupaya untuk dapat menyelesaikan masalah dari yang kecil-kecil agar tidak membahayakan persatuan bangsa. Mengisi waktu luang dengan hal yang bermanfaat dapat menghindarkan kita dari usaha-usaha provokatif pihak lain. Di lain pihak, menjaga sikap dan mampu mengendalikan diri dalam kehidupan bermasyarakat perlu dikembangkan oleh generasi muda. Selain itu, penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam pergaulan sehari-hari dapat dijadikan upaya membangunkan kembali rasa persatuan, karena dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi kesalahpahaman akan terhindarkan.

Introspeksi atau refleksi adalah cara untuk kembali menyadarkan. Ibarat kaca spion bagi kita, kita dapat sesekali menengok ke belakang, agar langkah maju kita tak tertikam bahaya laten ataupun kecerobohan yang tak perlu. Termasuk keliru memahami dan menghadapi perubahan.

Masyarakat komunikatif tercipta dengan mampu merasakan kepekaan dan kepedulian serta siap berargumentasi memecahkan permasalahan kompleks yang diidap. Kongkretnya, dengan cara itu, dapat mengawal masa-masa sulit ini menuju suatu arah yang tepat. Bagaimanapun menyiapkan seperangkat infrastruktur yang capable menyikapi setiap kejutan arah angin perubahan secara tenang dan penuh perhitungan dalam konsensus, dapat menyediakan energi yang berlimpah ketika kita amat membutuhkannya. Mengedepankan prioritas tidak bermakna mengesampingkan kebutuhan lainnya.

Orang selalu mengimpikan suatu kedamaian di mana setiap orang bebas hidup dengan damai dan mewujudkan cita-citanya. Baru belakangan ini kita mulai menyadari, dengan kerja sama, kita mampu membangun dunia yang damai. Daripada kita bertengkar satu sama lain, lebih baik kita memerangi bahaya yang akan sama-sama kita hadapi, yaitu kekerasan, keserakahan, membongkar akar-akar pertikaian dan mencoba melaksanakan persamaan lebih besar dalam hubungan ekonomi, sosial dan budaya. (Javier Perez de Cuellar).

Dalam tugas yang memakan waktu dan menantang ini, mantan Sekjen PBB Javier Perez de Cuellar mengatakan, kita harus membentengi diri dengan kepercayaan pada nilai-nilai keutamaan manusia akan cinta, kasih sayang, dan kebijaksanaan sebagai modal memandang masa depan.

Barangkali, sebagai bagian dari bangsa ini. Memang yang lebih diperlukan adalah kemampuan memelihara memori dan mengambil pelajaran dari apa yang sudah bersama kita lalui sebagai sebuah bangsa. Sebuah refleksi juga jalan untuk upaya merawat ingatan bahwa kemerdekaan ini adalah hasil perjuangan beratus dekade oleh berjuta pejuang; bahwa otoriterianisme merupakan jalan yang tidak kita inginkan sebagai bangsa yang bercita-cita dewasa; bahwa represivitas melumpuhkan demokrasi dan intelektualitas; bahwa kebebasan berpikir dan bersuara telah dibayar mahal oleh nyawa yang tak ternilai; bahwa korupsi dan kawan-kawannya telah menghancurkan sendi-sendi keadilan dan meluluhlantakkan harapan untuk hidup makmur, sejahtera, dan berkeadilan; bahwa wajah pendidikan menentukan karakter bangsa; bahwa persoalan bangsa ini adalah persoalan yang harus kita selesaikan secara bersama-sama; bahwa jauh dari tempat kita berada banyak sosok yang tulus bergerak untuk sesuatu yang memiliki nilai kontribusi tinggi daripada kita yang hanya berdiam sambil berpura-pura diskusi dan turut berpikir.***

Prakoso Bhairawa Putera S., peneliti muda kebijakan iptek – LIPI, Jakarta.

Sumber : Pikiran Rakyat, 23 Agustus 2009

Senin, 17 Agustus 2009

Pangan Merdeka, Indonesia Sejahtera

Penulis: Prakoso Bhairawa Putera S, Peneliti Muda Kebijakan dan Perkembangan Iptek, LIPI


MERDEKA, itulah kata yang begitu dekat dengan kita di bulan Agustus ini. Kata “Merdeka” dapat diapresiasikan dalam setiap sektor kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada sebuah terjemahan Kamus Besar Bahasa Indonesia daring (dalam jaringan) atau KBBI online diartikan sebagai bebas, tidak terkena atau lepas dari tuntutan, tidak terikat, tidak tergantung pada orang lain atau pihak tertentu. Pengertian ini memberikan makna beragam, tetap dengan inti yang sama yaitu suatu keadaan tidak terikat dan berdiri sendiri dengan kebebasan yang dimiliki.

Tataran merdeka pada bidang pertanian menjadi fokus yang belakangan ini selalu dibicarakan, kata lain kita sering mendengar istilah aman pangan yang tak lain perwujudan dari kemerdekaan akan pangan. Tidak salah kiranya jika “pangan merdeka” dimaknai sebagai kondisi untuk bebas berdiri sendiri, bebas memilih tempat di mata dunia, bebas berinteraksi dan bekerjasama dengan bangsa lain untuk peningkatan dan kemakmuran bangsa dalam bidang pangan. Kondisi ini mensyaratkan untuk tidak terbelenggu dan tidak juga dalam tekanan dunia ataupun kepentingan ekonomi, politik ataupun militer yang sepihak, sehingga pelaksanaan perwujudan kondisi aman pangan akan memasukkan unsur penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi (baik untuk penelitian dan pengembangan) untuk meningkatkan tatanan dan suasana yang lebih kondusif dapat berlangsung dan berlanjut.
Guna melihat pangan merdeka, baik kiranya merujuk pada kebijakan yang telah digariskan oleh pemerintah. Undang-undang No.7 Tahun 1996 tentang Pangan telah mengamanatkan bahwa pemerintah bersama masyarakat bertanggung jawab mewujudkan ketahanan pangan.

Dengan kata lain, untuk bisa menciptakan “pangan merdeka” dibutuhkan juga kontribusi masyarakat yang bertanggung jawab. Pemerintah sebagai pihak menyelenggarakan pengaturan, pembinaan, pengendalian, dan pengawasan terhadap ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah dan mutunya, aman, bergizi, beragam, merata, dan terjangkau oleh daya beli masyarakat. Selanjutnya, masyarakat berperan dalam menyelenggarakan produksi dan penyediaan, perdagangan dan distribusi, serta sebagai konsumen yang berhak memperoleh pangan yang aman dan bergizi.

Kenyataan di lapangan ternyata tidak serupa dengan yang diamanatkan kebijakan tersebut. Pangan nasional masih menimbulkan masalah kecukupan produksi, distribusi, dan pendapatan pangan mempunyai efek multidimensi. Pangan merdeka adalah kunci untuk menciptakan suatu kondisi yang memungkinkan rakyat mendapatkan akses sejahtera. Layaknya filosofi dari kata “merdeka”, maka “merdeka” pangan tidak hanya diasumsikan sebagai kemampuan ketersediaan pangan bagi rakyat semata, tetapi perlu ditambahkan pada kondisi mendatang dengan penyiapan regulasi yang “memerdekkan” pangan itu sendiri, kesiapan dan kemampuan teknologi dan sumber daya manusia andal yang mendukung keberlanjutan produksi pangan di negeri ini.

Sepertinya saya sepakat dengan Ahmad Erani Yustika (2008), bahwa selama ini kebijakan memerdekaan pangan, terutama di negara-negara berkembang, seperti Indonesia, selalu bermakna subsidi kepada kelompok kaya yang tinggal di perkotaan (urban bias) sehingga menindih petani (orang desa) dalam dua dampak sekaligus. Pertama, petani dirugikan karena insentif laba menjadi amat kecil akibat kebijakan pangan murah. Kedua, petani harus membayar mahal untuk membeli komoditas nonpertanian karena pemerintah menyerahkan penentuan harga berdasar mekanisme pasar.

Meski hal ini mudah dipahami, dalam sejarahnya sulit mengimplementasikan fondasi kebijakan ini karena kuatnya penetrasi politik yang bermain dalam arena pengambilan keputusan.
Jika merujuk pada paradigma ketahanan pangan nasional selama ini, selalu diarahkan pada kebijakan swasembada dan stabilitas harga yang diindikasikan dengan adanya kemampuan menjamin harga dasar yang ditetapkan melalui pengadaan pangan dan operasi pasar. Sebenarnya, paradigma ini perlu dilakukan penguatan akses masyarakat untuk memperoleh pangan itu sendiri dengan meningkatkan kegiatan masyarakat sehingga dapat meningkatkan pendapatan, bukan lagi mengejar swasembada komoditas per komoditas meskipun ini juga perlu.

Akses ketersediaan pangan bagi seluruh rakyat dan kemampuan setiap rumah tangga memperoleh pangan dari hari ke hari adalah indikator awal. Ketersediaan pangan yang cukup di tingkat wilayah belum menjamin kecukupan pangan di tingkat rumah tangga. Oleh karena itu, kelancaran distribusi pangan sampai wilayah permukiman serta daya jangkau fisik dan ekonomi rumah tangga terhadap pangan merupakan dua hal yang sama pentingnya.

Penguatan pangan merdeka pun perlu diarahkan pada pengembangan pangan dengan mengembangkan sistem pangan yang berbasis pada keberagaman sumber daya bahan pangan, kelembagaan, dan budaya lokal dalam rangka menjamin tersedianya pangan dan nutrisi dalam jumlah yang dibutuhkan pada tingkat harga yang terjangkau dengan memerhatikan peningkatan pendapatan petani yang berbasis sumber daya nasional secara efisien dan berkelanjutan, menuju masyarakat yang sejahtera.

Penguatan Kebijakan

Apabila prasyarat pertama telah terpenuhi, penguatan kebijakan pangan merdeka adalah penting. Pemerintah tidak perlu lagi tergoda membangun pertanian secara instan dengan mengedepankan kebijakan instrumen fiskal tanpa mau bersusah payah meningkatkan produksi.

Idealnya, sebuah kebijakan maka tidak lain tidak bukan terlebih bagi sektor pertanian, maka kepastian jaminan pasar sebagai peluang mengajak petani bergiat menanam komoditas tanaman pangan menjadi keharusan. Peningkatan produksi tanaman pangan hanya akan tercapai apabila pemerintah mampu memberikan kepastian kepada petani. Baik dalam bentuk jaminan harga maupun penyerapan produk. Lembaga stabilisasi harga dan pasokan, seperti Perum Bulog, mesti dimanfaatkan dan diberdayakan dengan baik. Kalau bisa Perum Bulog jangan hanya berperan mengamankan beras, tetapi diperluas untuk komoditas lain seperti jagung, kedelai, dan juga umbi-umbian. Mekanisme pembelian produk pertanian oleh Bulog atau lembaga lain yang memiliki peran dan fungsi yang sama harus dilakukan dalam segala kualitas.

Bila semua titik kebijakan telah diupayakan, tetapi jangan sampai terlewatkan perlunya evaluasi tingkat produksi, dengan tidak hanya dilakukan evaluasi tingkat produktivitas semata. Perlunya juga evaluasi terhadap komoditas tanaman pangan secara berkelanjutan di tingkat nasional maupun di daerah (provinsi dan kabupaten/kota). Evaluasi ini penting dilakukan untuk melihat keseimbangan tingkat konsumsi dengan laju pertumbuhan produksi pangan. Selain itu, revisi rencana strategis jangka pendek dan panjang dengan lebih mengintensifkan upaya peningkatan produktivitas di sektor pertanian, khususnya tanaman pangan mesti dilakukan.

Berikutnya kebijakan bisa diarahkan pada stabilitas pasar. Stabilitas pasar harus dibangun untuk menjamin kepastian bagi konsumen komoditas pangan. Penguatan kebijakan stabilitas pasar dicapai melalui perubahan struktural sehingga mampu memperbaiki sektor pertanian dengan peningkatan diversifikasi konsumsi pangan sehingga tidak terkonsentrasi pada komoditas tertentu; penyebaran surplus komoditas pangan ke tempat lain yang mengalami defisit; dan interaksi strategis antara sektor publik dan swasta untuk mencegah instabilitas pasar dan krisis pangan.

Keberanian mengeluarkan kebijakan juga, mesti diikuti dengan pelaksanaan pembaruan agraria, dengan ditunjang pembangunan infrastruktur perdesaan seperti irigasi dan jalan-jalan desa. Begitu juga dengan keberanian menegakkan pangan merdeka dengan cara berswasembada dan melepaskan ketergantungan terhadap mekanisme pasar bebas.***

Sehat Teknologi Untuk Anak

Penulis: Prakoso Bhairawa Putera, Peneliti Muda Kebijakan dan Perkembangan Iptek LIPI


Perkembangan teknologi ditenggarai membawa dampak bagi anak, dampak tersebut tidak hanya positif tetapi negatif.

KEHADIRAN teknologi yang umumnya diciptakan dengan universal design, sehingga dapat dipergunakan oleh siapa saja tanpa melakukan perubahan-perubahan tertentu, atau singkat kata teknologi pada umumnya hadir dan siapa saja bisa menguasainya. Pola semacam inipun berlaku pada anak-anak, terlebih dari setiap produk teknologi yang dihasilkan selalu dilengkapi dengan petunjuk operasionalnya. Hal ini mempermudah anak-anak untuk mengoperasikan sebuah teknologi dengan ditambah bimbingan seseorang yang mampu (orang tua). Akan tetapi fenomena yang sering terjadi, acap kali anak-anak lebih menguasai teknologi dibandingkan dengan ayah atau ibunya.

Fenomena ini memunculkan isu-isu pengaruh negatif teknologi terhadap anak. Pengaruh negatif terjadi karena si anak memiliki banyak waktu dengan teknologi yang tersedia. Sehingga waktu yang ada banyak dihabiskan bersama ponsel, komputer, atau televisi. Dalam teknologi tersebut memiliki content yang sangat digemari anak, seperti; facebook, instant messenger (IM), video conference, blog, dan game.

Ken Kelly (2008), dalam tulisannya Information technology making a Difference in Children Lives menjelaskan bahwa teknologi informasi mempengaruhi perkembangan anak diberbagai ranah kehidupannya, seperti: kesehatan, persiapan tenaga kerja, pendidikan dan civil engagement. Pengaruh yang ada lebih terarah pada sisi positif, dimana dengan adanya bantuan teknologi informasi, mempermudah pemantauan kesehatan pada anak, dengan komunikasi berbasis web membantu sejumlah anak yang memiliki penyakit diabetes dan asma untuk bisa dipantau dan memiliki catatan medis elektronik. Hal semacam ini telah dilakukan di Amerika Serikat.

Keterampilan teknologi informasi pada usia dini bisa menjadi investasi awal dimasa mendatang, karena 95 persen lowongan pekerjaan baru selalu mensyaratkan seseorang memiliki keterampilan dalam penggunaan teknologi ini. Pendidikan saat ini pun mulai melibatkan teknologi informasi di dalamnya. Hal ini terbukti dengan diterapkan sistem pembelajaran online dibeberapa wilayah, dan bukan tidak mungkin dimasa mendatang sistem e-learning seperti halnya di Singapura diterapkan di Indonesia mulai dari tingkat sekolah dasar.

Berkaitan dengan civil engagement, bukan hal baru lagi jika hadirnya jejaring sosial telah membawa anak-anak menjadi bagian satu dengan yang lain untuk saling berkomunikasi.

Namun, hal positif dari teknologi ini dapat berakibat buruk bila digunakan secara tidak bertanggung jawab. Ada kalanya anak-anak lebih suka memainkan teknologi itu dan lupa kewajiban yang lebih penting seperti makan, mandi bahkan enggan untuk belajar.

Diakui oleh para ahli, seorang anak ketagihan berteknologi karena mendapatkan kenyamanan dari pengalaman baru tersebut. Anak-anak juga merasa mendapatkan dunia yang berbeda dengan yang ada disekitarnya, serta ia merasa bisa menjadi orang lain yang diinginkannya. Contoh yang paling sederhana, seorang anak pendiam dan pemalu bisa berkenalan melalui chating atau pun via surat elektronik, anak juga bisa membuat karakter yang disukai dalam game online yang dimainkannya. Kenyamanan semacam inilah yang membuat anak menjadi lupa akan kehidupan nyatanya.

Bahaya pornografi pun sangat dekat dengan dunia anak yang telah kecanduan akan teknologi informasi bernama internet. Dalam seminggu saja, lebih dari 400 situs porno dibuat di seluruh dunia. Berdasar hasil riset yang dilansir TopTenReviews, setiap detiknya lebih dari 28.000 pengakses pornografi di internet dengan total pengeluaran lebih dari 3.000 dollar AS. Jika kita mencari kata kunci ‘sex’ di Google, akan muncul 662 juta situs, 568.881 video, 157 juta gambar, dan 111.057.569 blog. Ini menandakan begitu dekatnya bahaya pornografi pada anak.
Pada awalnya bisa saja seorang anak tidak berminat untuk melihat pornografi, dan akan memanfaatkan internet untuk tujuan yang baik-baik saja. Tetapi, situs-situs porno bisa muncul secara tiba-tiba saat seorang anak mecari informasi karena pembuat situs tersebut memasukkan kata-kata kunci yang sering digunakan.

Anak-anak berusia 8-12 tahun menjadi sasaran penyebaran. Anak-anak seusia tersebut masih sangat rentan karena otak depan seorang anak belum berkembang dengan baik. Otak depan menjadi pusat untuk melakukan penilaian, perencanaan dan menjadi eksekutif yang akan memerintahkan tubuh untuk melakukan sesuatu. Otak belakang anak seusia ini menjadi pendukung dari otak depan, Otak belakang terdapat dopamin, yaitu hormon yang menghasilkan perasaan nyaman, rileks atau fly pada seseorang. Anak yang telah kecanduaan akan sulit menghentikan kebiasaanya, alhasil dia berulang kali melakukan kebiasaan tersebut.

Meminimalisir Dampak Internet

Langkah tepat untuk meminimalisir dampak tersebut bisa dilakukan dengan penguatan pengetahuan tentang internet yang dimiliki oleh para orang tua, meletakkan komputer di tempat yang mudah dilihat sehingga orang tua bisa dengan mudah melakukan pengawasan dan pendampingan saat anak sedang mengoperasikan teknologi tersebut, menanamkan nilai-nilai keutamaan dari manfaat sebuah teknologi, jangan takut untuk membatasi waktu penggunaan internet di rumah. Melalui langkah ini setidaknya anak merasa semakin dekat dengan orang tuanya dan terjalin hubungan yang akrab dalam keluarga. Bila memungkinkan, jangan sungkan untuk berteman dengan anak di jaringan sosial yang dimilikinya, seperti facebook, friendster ataupun myspace.****

dipublikasi di BANGKA POS, edisi 11 Agustus 2009

Selasa, 04 Agustus 2009

PENGUMUMAN SNMPTN

Oleh Prakoso Bhairawa Putera S.

HARI ini 1 Agustus 2009 bertepatan dengan pengumuman hasil Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) atau pada dua tahun sebelumnya dikenal dengan Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penyelenggaraan SNMPTN tahun ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Pertama kali dalam pelaksanaan tes ujian masuk perguruan tinggi negeri secara nasional diberlakukan adanya Tes Potensi Akademik (TPA).

Tahun ini, selain memberlakukan sistem persentil atau Tes Bidang Studi Prediktif (TBSP) dengan bobot nilai 70%, SNMPTN 2009 juga menambahkan satu materi tes lain, yaitu TPA dengan bobot penilaian 30%. Berdasarkan jumlah peminat, SNMPTN tahun ini mengalami peningkatan sekitar 10%. Selain itu, dari sistem penilaian hasil. Penilaian hasil ujian seleksi nasional kali ini benar-benar berbeda.

Sistem persentil

Sistem persentil mulai diberlakukan dalam penilaian SNMPTN tahun ini. Jika tahun sebelumnya, dengan skor 4 jika jawaban benar, 0 jika tidak diisi, dan minus 1 jika salah, skor tersebut langsung dijumlahkan dan menjadi nilai akhir peserta SNMPTN. Ketika siswa tidak mengisi salah satu mata pelajaran dan mengisi mata pelajaran lain yang dia kuasai, nilainya tertutup oleh nilai mata pelajaran yang dikuasainya.

Dengan demikian, bisa saja terjadi (dan mungkin sering terjadi) seseorang jurusan IPA di sekolahnya mengambil IPS di SNMPTN dan tembus ke akuntansi PTN A karena bagus di matematika, sementara pelajaran ekonominya jelek. Sistem penilaian semacam ini (sistem lama), bila ada mata pelajaran yang terkesan sulit, raihan nilai siswa cenderung rendah. Penyebabnya, bisa jadi siswa "kurang berminat" mengerjakannya. Padahal, setiap mata pelajaran itu sama pentingnya untuk diujikan.

Namun, sistem seperti itu tidak akan berlaku lagi tahun ini. Sistem penilaian persentil menghendaki peserta ujian mengerjakan semua mata pelajaran yang diujikan dalam Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) 2009. Dengan sistem persentil ini, setiap mata pelajaran akan mendapat porsi yang sama dalam penilaian. Skor yang diperoleh tidak langsung dijumlahkan, tetapi diperingkat dahulu dengan penghitungan "persentil= 100 x (1-peringkat siswa/peserta)". Artinya, lolosnya siswa bergantung pada jumlah skor setiap mata pelajaran, peringkat skornya secara nasional, dan jumlah peserta.

Intinya, mereka yang lolos adalah yang nilainya bagus di setiap mata uji. Ini juga akan mengurangi angka DO di PTN yang dipilih dan kehadiran mahasiswa baru hasil SNMPTN tahun ini benar-benar hasil terbaik dan yang layak.

Paradigma baru

Kehadiran sistem penerimaan semacam ini menjadi paradigma baru sehingga asumsi tentang adanya banyak perguruan tinggi yang mendahulukan kuantitas daripada kualitas pendidikan, bisa sedikit ditepis.

Namun, kita juga tidak bisa menutup mata, masih ada yang melakukan praktik semacam itu. Banyak perguruan tinggi yang mengedepankan kemampuan mereka untuk survive dulu dengan mencari pemasukan sebanyak-banyaknya dari SPP mahasiswa. Demikian pula dengan beberapa perguruan tinggi negeri yang berubah statusnya menjadi BHP, mereka dituntut untuk dapat mandiri dalam mengelola keuangannya.

Di sisi lain, guna meningkatkan kualitas pendidikan tinggi tentu saja diperlukan faktor pendukung seperti gedung, fasilitas belajar-mengajar, perpustakaan, dan manajemen pendidikan merupakan hal penting yang harus selalu dicoba ditingkatkan kualitasnya. Namun, hal yang paling utama adalah ketersediaan sumber daya manusia berupa staf akademis yang qualified dan berkomitmen. Kemampuan perguruan tinggi untuk menarik dan mempertahankan staf akademis yang berkualitas adalah kuncinya.

Peningkatan kualitas pendidikan dan peningkatan riset menjadi hal yang saling mendukung dalam peningkatan kualitas pendidikan tinggi secara umum. Meningkatkan riset dan kualitas pendidikan ini adalah kunci agar perguruan tinggi-perguruan tinggi di Indonesia bisa lebih kompetitif di mata internasional. Suatu perjuangan berat yang tidak mudah, namun tetap harus dimulai bagaimanapun beratnya.

Gonjang-ganjing tentang mutu pendidikan tinggi yang semakin disorot akhir-akhir ini membuat banyak pihak yang terlibat mulai bingung, seperti apa sebenarnya konsep pendidikan tinggi yang ideal di Indonesia. Karena banyak bukti menunjukkan, pendidikan tinggi di Indonesia jauh tertinggal dibandingkan dengan negara lain. Meskipun kita bersikap masa bodoh dengan survei yang menyatakan posisi pendidikan tinggi Indonesia termasuk papan bawah di Asia bahkan di dunia, ada baiknya kita melirik bagaimana sistem pendidikan tinggi di negara-negara yang tergolong maju.

Jika dikembalikan pada SNMPTN, tidak lebih dari 20% peserta tes SPMB-PTN yang dinyatankan lulus. Kondisi amat terbatasnya daya tampung PTN, memberi kesempatan luas kepada PTS untuk memasuki pasar perguruan tinggi. Selain itu, beberapa PTS memiliki rasa percaya diri yang cukup tinggi bahwa mereka memiliki segmen pasar tersendiri sehingga tidak bergantung kepada hasil SPMB. Dari sisi calon konsumen pendidikan tinggi, kualitas pendidikan tinggi yang akan dibeli merupakan suatu tuntutan.

Apa pun yang akan dihasilkan setelah kelarnya hajatan besar ini, semuanya adalah rangkaian dari proses panjang untuk menuai kualitas sumber daya manusia Indonesia unggul. ***

Penulis, peneliti muda kebijakan iptek – LIPI, Jakarta.

Sumber : Pikiran Rakyat, 01 Agustus 2009

Senin, 20 Juli 2009

Kenapa Jadi Junkie, Kalau Mau Gaul?

Publikasi di PIKIRAN RAKYAT, edisi 13 Juli 2009


MUNGKIN sudah terlalu sering kita mendengar atau membaca dari pelbagai sumber mengenai narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (NAPZA). Meski demikian, hal ini harus menjadi perhatian bersama untuk mempersempit ruang penyebarannya di tengah peliknya kehidupan berbangsa dan bernegara.

Penyebaran NAPZA, terlebih narkotika di Indonesia setiap tahunnya cenderung mengalami peningkatan. Awal tahun delapan puluhan jaringan narkoba di Indonesia masuk dalam jaringan terbesar di Asia Tenggara. Dengan perangkat perundang-undangan yang relatif tidak tegas (saat itu) bagi pengedar ataupun pemakai menyebabkan kita dijadikan kawasan potensial peredaran sindikat narkoba dunia.

Berdasarkan data Dit IV/Narkoba per Januari 2009, kasus narkoba hingga tahun 2008 tercatat 115.404 dengan 176.344 tersangka. Sepanjang tahun 2008 lalu kasus narkoba telah mencatatkan 29.359 perkara dengan 44.694 tersangka. Sehingga bila dihitung sejak sebelas tahun yang lalu (1997) kasus narkoba di Indonesia mengalami kenaikan rata-rata 50,1% per tahun.

Narkotika pertama kali muncul dalam istilah Yunani yaitu nake yang artinya beku, lumpuh, dan dingin. Orang-orang di Amerika lebih mengenalnya dengan sebutan narcotic, dan di Malaysia lebih popular dengan sebutan dadah. Indonesia sendiri menamakan narkotika dan jenisnya dengan narkoba. Pada kalangan remaja/anak muda, mereka memberikan istilah bagi para pemakainya dengan junkie.

Pengaruh narkotika bergerak perlahan, tetapi pasti menghancurkan keberadaan bangsa karena konsumen terbesarnya adalah generasi-generasi yang akan melanjutkan kelangsungan bangsa ini di hari esok. Akankah generasi yang suka menutup diri, berbadan ceking, tingkat emosional tinggi, dan sulit diajak komunikasi, daya ingatnya terganggu, panik serta bermalas-malasan. Akan kita biarkah generasi yang rusak akibat narkoba bertambah, bertambah, dan bertambah lagi.

Penyalahgunaan dan dampaknya

Tingginya kasus penyalahgunaan narkoba di negeri ini secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh pada bertambahnya jumlah pengguna baru. Sebuah penelitian di tiga kota besar memperlihatkan 88% pemakai narkoba melalui jarum suntik menggunakan jarum tidak steril secara bergantian, namun hanya kurang dari sepertiga dari mereka yang menyadari bahwa dirinya berisiko untuk menularkan dan tertular HIV. Di Jakarta, satu dari dua pencandu narkoba terinfeksi HIV, sementara di Pontianak, Kalimantan Barat, lebih dari tujuh puluh persen pencandu narkoba suntik yang dites HIV ternyata menunjukkan hasil positif.

Seperti disebutkan sebelumnya, mayoritas pengguna narkotika berada dalam usia produktif dan aktif seksual (15-49 tahun). Dengan banyaknya jumlah penduduk Indonesia yang terjangkit penyalahgunaan narkoba, negara pun turut dirugikan dalam segi finansial. Berdasarkan referensi, bila satu persen penduduk Indonesia terjangkit penyalahgunaan narkoba, setidaknya terdapat 2,2 juta pencandu.

Ini berarti negara harus mengeluarkan dana penanggulangan masalah narkoba sebesar Rp 66 triliun per enam bulan. Jumlah ini akan semakin meningkat karena data dari Badan Narkotika Nasional (BNN) menyebutkan jumlah penyalahgunaan narkoba di Indonesia telah mencapai 3,3 persen dari total penduduk.

Para ahli di bidang ini acapkali mengingatkan kita agar menghindari penyakit sosial yang telah banyak merenggut korban akibat overdosis (od). Peran lingkungan dan teman sepermainan sangat menentukan. Terlebih keluarga sebagai kata kunci, terlalu banyak kasus penyalahgunaan yang dilakukan remaja dari kalangan ekonomi atas dan alasan mereka mungkin sudah terlalu basi bagi sebagian di antara kita mendengarkannya, yaitu tidak lain kurangnya kasih sayang dari orang tua. Ayah-ibu, papi-mami, bokap-nyokap adalah orang karier, supersibuk, waktu untuk keluarga terbatas dan memberikan perhatiannya melalui materi fisik saja. Sementara materi nonfisik berupa psikologis (kasih sayang) kepada buah hati mereka sedikit atau barangkali terlupakan.

Narkoba memiliki efek yang buruk bagi tubuh dan efek ini berbeda antara orang satu dengan yang lainnya. Efek langsung seperti kesenangan yang hebat, merasa sehat, berkurang rasa sakit, lapar, dan nafsu berhubungan intim. Pencandu juga rawan tertular virus hepatitis C dan AIDS melalui jarum suntik yang tidak steril. Kejadian infeksi virus hepatitis C pada pengguna narkotika lewat suntikan, dilaporkan mencapai 80,2 persen di Jakarta. Infeksi itu akan berkembang menjadi hepatitis C kronik pada 60-80 persen di antaranya. Sepuluh sampai 20 persen penderita hepatitis kronik akan mengalami sirosis hati dalam kurun waktu sepuluh tahun. Bahkan, sebanyak 20-30 persen pasien narkoba yang dirawat di Jakarta dinyatakan positif menghidap HIV.

Kenali sejak dini

Masa remaja merupakan peralihan masa kanak-kanak ke dewasa ditandai dengan pertumbuhan yang cepat pada diri seseorang baik jasmani, kejiwaan, maupun sosialnya. Terkadang perubahan itu tidak berjalan seimbang, misalnya saja jasmani pertumbuhannya begitu oke, tetapi perkembangan jiwanya tidak.

Hal ini bisa menimbulkan benturan dalam dirinya sehingga sering muncul perasaan bingung gelisah, tegang, dan ketakutan. Pada masa ini juga seseorang ingin mengetahui siapa dirinya. Tak jarang untuk mengetahuinya mereka mencoba hal-hal baru yang selama ini tidak dikenal dan dirasakan. Mereka juga berusaha untuk lepas dari bayang-bayang atau otoritas orang tua dan mulai berkelompok-kelompok membentuk perkumpulan setipe di antara mereka. Nah, pada saat-saat seperti inilah oknum-oknum yang menyesatkan dengan membawa narkoba masuk dalam lingkungan remaja.

Beberapa ahli pernah memberikan ciri-ciri remaja dengan risiko tinggi menjadi penyalah guna narkoba di antaranya : sifatnya mudah kecewa dan kecenderungan menjadi agresif dan destruktif untuk mengatasi kekecewaan itu. Sifatnya tidak dapat menunggu atau bersabar yang berlebihan apa yang diinginkan harus segera dipenuhi saat itu juga.

Adanya hambatan atau penyimpangan psikoseksual disebabkan proses identifikasi anak laki-laki pada ayahnya atau anak perempuan pada ibunya tidak berlangsung dengan baik. Akibatnya, anak mengalami kesulitan dalam bergaul dengan lawan jenis, malu, rendah diri, sukar didekati atau mendekati lawan jenis, suka menyendiri, terlibat masturbasi secara berlebihan atau tidak pernah masturbasi sama sekali.

Sifat menentang aturan atau cara yang resmi dalam masyarakat untuk mencapai apa yang diinginkan. Sifat suka mengambil risiko yang tidak tepat berlebihan atau terlalu besar risikonya sebagai suatu cara untuk memperlihatkan keberanian dan kehebatannya. Sifat cepat bosan, murung, dan merasa tertekan. Perilaku antisosial pada usia dini seperti tindakan kekerasan, mencuri, dan kejahatan lainnya. Perilaku menyimpang pada usia dini seks, berhenti sekolah, merokok pada usia yang sangat muda. Adanya keterbelakangan mental taraf pembatasan, karena keadaan ini mudah menimbulkan perasaan malu, curiga, rendah diri, dan kurangnya kemampuan untuk menyelesaikan persoalan.

Selain itu juga Keluarga Relawan LSM dan Individu Pemerhati NAPZA (Kerlip NAPZA) dalam brosurnya memberikan tanda-tanda seorang menggunakan NAPZA. Tanda-tanda tersebut dapat terlihat di sekolah dan di rumah. Di sekolah dikatakan bahwa apabila nilai pelajaran menurun, motivasi sekolah menurun, malas berangkat, dan malas membuat tugas-tugas sekolah, sering bolos, sering keluar kelas dan tidak kembali ke sekolah, mengantuk di kelas, sering bosan dan tidak memperhatikan guru, sering dipanggil guru karena tidak disiplin, meninggalkan hobi-hobinya yang terdahulu misalnya kegiatan ekstrakurikuler dan olah raga yang dulu digemarinya, mulai sering berkumpul dengan anak-anak yang tidak beres di sekolah, sering meminjam uang pada teman, berubah gaya berpakaian, tidak peduli pada kebersihan, teman lama ditinggalkan, bila ditanya sikapnya defensif atau penuh kebencian, dan mudah tersinggung merupakan tanda-tanda yang perlu diselidiki apakah ia menggunakan NAPZA.

Adapun tanda-tanda di rumah adalah semakin jarang mengikuti kegiatan keluarga, berubah teman dan jarang mau mengenalkan temannya, teman sebayanya makin tampak mempunyai pengaruh negatif, mulai melupakan tanggung jawab rutinnya di rumah, sering pulang lewat jam malam, sering ke disko atau pesta, waktu dihabiskan di kamar, malas makan dan jarang mau makan sama keluarga merupakan gejala awal seorang menggunakan narkoba. Kemudian berlanjut dengan sering menghabiskan uang tabungan, barang-barang berharga miliknya atau milik keluarga yang dipinjamkannya sering merongrong keluarga untuk minta uang dengan berbagai alasan, tidak mengizinkan orang tua masuk ke kamarnya, ada obat-obatan, kertas timah, bau-bauan yang tidak biasa di rumah, terutama kamar mandi dan kamar tidur atau ditemukan jarum suntik, namun bila ditanya ia akan mengatakan bahwa barang-barang itu bukan miliknya. Oleh karena itu, kenalinya tanda-tanda ini sejak dini karena terlambat mengetahuinya akan memperparah keadaan. Mari kita mulai dari diri dan keluarga kita untuk mengatakan say no to drugs.

Libatkan remaja

Hambatan utama pemberantasan peredaran selalu mengalami jalan buntu, pemerintah acapkali dibenturkan dengan berbagai permasalahan yang ada. Sebenarnya kunci pemberantasan bukan berada pada pemerintah saja, tetapi semua komponen di republik ini. Pemerintah wajib memberikan perangkat hukum yang lebih keras dan bila perlu "mematikan" bagi para sindikat yang terlibat di dalamnya, baik itu pengguna, pengedar maupun produsernya.

Kunci lain yang bisa dilakukan adalah memperbanyak kegiatan-kegiatan yang melibatkan remaja di dalamnya, dan tanpa henti-hentinya menyuarakan say no to drugs, klasik tetapi patut untuk disuarakan. Memperketat pengawasan terhadap anak-anak sekolah dari tingkat yang paling rendah (sekolah dasar) hingga perguruan tinggi. Selain itu yang tak kalah pentingnya adalah kehangatan keluarga. Keluarga merupakan komunitas pertama yang akan membentuk seseorang menjadi jiwa yang sehat, dengan kehangatan keluarga melalui komunikasi yang harmonis antaranggota di dalamnya bisa memperkuat hubungan dan kemantapan hati. Kemampuan orang tua dalam melihat perubahan yang terjadi pada anak-anaknya sangatlah penting sebagai langkah awal. Ketidakpahaman orang tua akan dunia kaum muda dan tantangan yang mereka hadapi di sekolah atau kampus, akan membuat orang tua tidak dapat menangkap gejala-gejala dini.

Anak-anak akan membutuhkan pendidikan dari ayah dan ibunya untuk menjadi anak yang mampu bersikap tegas. Keluarga yang cenderung menekan anak sehingga ia berkembang menjadi anak yang kodependen, akan mempersulit sang anak mengatakan tidak pada saat ia perlu mengatakan tidak dan saat ia perlu menciptakan batasan (boundary). Anak-anak kodependen sering sulit menolak ajakan teman. Ini juga yang akan mempersulit mereka menolak ajakan teman untuk memakai narkoba dan menolak ajakan berhubungan seks. Rasa tak percaya diri, rasa sungkan, membuat mereka lebih baik menekan perasaan dan tutup mulut.

Atas dasar hal ini, anak-anak perlu diberdayakan dengan membuatnya bebas berekspresi sehingga setiap ada masalah ia siap berdialog dengan orang tuanya kapan saja. Di sinilah pentingnya peran orang tua, bahwa kampanye say no to drugs takkan berhasil bila lingkungan keluarga dan sosial si anak tidak mendukung. Ini terkait dengan perkembangan mental dan emosional anak serta informasi yang mereka dapatkan dari orang tuanya mengenai realitas kehidupan sehingga ada antisipasi dari mereka menemui sejumlah masalah, termasuk narkoba, lalu HIV.

Bila anak terkena masalah, sangat penting bagi orang tua dan keluarga mengambil tindakan, tetapi bila hanya rasa malu atau keinginan menjaga nama baik keluarga menjadi tidak membantu. Inilah persoalan khusus yang mengkhawatirkan bila terjadi pada anak.

Selagi dini, masih ada jalan untuk memperbaiki setiap kerusakan dan permasalahan yang terjadi. Beri kesempatan kepada anak untuk berekspresi dan menunjukkan bakat dan kemampuan mereka karena setiap jiwa yang terlahir telah diberikan keistimewaan.

Keistimewaan itulah yang kemudian tumbuh menjadi minat dan bila diteruskan bisa menjadi prestasi yang membanggakan bersama. Hidup dengan kehangatan keluarga, cinta, dan penuh kasih sayang merupakan dambaan setiap orang. Lalu, kenapa itu tidak kita wujudkan pada keluarga kita? Sekali lagi, kehangatan – cinta – kasih sayang, dan say no to drugs. (Prakoso Bhairawa Putera S.)***