Oleh Prakoso Bhairawa Putera S.
BULAN Ramadan merupakan bulan berjuta ampunan, sehingga setiap Muslim begitu mudah mengeluarkan lembaran uang dari kantong untuk mereka yang membutuhkan. Tradisi ini pun ternyata menjadi peluang baru bagi para pengemis yang ketika mendekati dan berada di bulan Ramadan ramai berderetan di masjid-masjid ataupun pusat perbelanjaan. Dalil pengemis "musiman" sepertinya jawaban awal mengenai fenomena yang muncul tidak hanya di kota Bandung, namun hampir di setiap kota metropolitan.
Tidak dapat dimungkiri, pertumbuhan penduduk di perkotaan di satu sisi menyebabkan pertumbuhan penduduk perdesaan mengalami stagnasi dan bahkan terdapat kecenderungan menurun. Hal ini juga menunjukkan adanya perubahan masyarakat perdesaan yang telah menjadi perkotaan. Data menunjukkan bahwa laju pertumbuhan penduduk di perkotaan jauh di atas laju pertumbuhan penduduk di daerah perdesaan. Pada tahun 1990, persentase penduduk perkotaan baru mencapai 31 persen dari total penduduk Indonesia. Namun, tahun 2000 telah mencapai 42 persen, dan diproyeksikan pada 2025, keadaannya berbalik, yaitu perkotaan berpenduduk 57 persen dan perdesaan 43 persen. Hal ini juga ditunjukkan dengan perbandingan kecepatan pertumbuhan penduduk perkotaan dan perdesaan yang semakin besar, yaitu dari 6:1 menjadi 14:1.
Perkembangan urban di Indonesia perlu diamati secara serius. Banyak studi memperlihatkan bahwa tingkat konsentrasi penduduk di kota-kota besar telah berkembang dengan pesat. Studi yang dilakukan Warner Ruts tahun 1987 menunjukkan bahwa jumlah kota-kota kecil (<100 ribu penduduk) sangat besar dibandingkan dengan kota menengah (500 ribu sampai 1 juta penduduk). Kondisi ini mengakibatkan perpindahan penduduk menuju kota besar cenderung tidak terkendali. Ada fenomena di mana kota-kota besar akan selalu tumbuh dan berkembang, kemudian membentuk kota yang disebut kota-kota metropolitan. Jakarta misalnya, telah lama menjadi kota terpadat di Asia Tenggara dengan perkiraan penduduknya mencapai 12 juta jiwa pada 1995. Diperkirakan sekitar 2015, Jakarta akan menduduki tempat kelima dalam 10 besar kota-kota terbesar di dunia.
Derasnya urbanisasi di Indonesia terjadi karena berbagai faktor. Kota dengan segala fasilitasnya menjadi daya tarik tersendiri bagi penduduk perdesaan. Cerita sukses dan penampilan fisik yang dipamerkan para pemudik saat Lebaran merupakan bumbu rangsangan tersendiri bagi penduduk perdesaan. Kehidupan glamor yang dipertontonkan media massa, khususnya televisi melalui sinetron dan format acara lain, menjadi suplemen mimpi untuk mengadu nasib dan mencari peruntungan penduduk perdesaan di perkotaan. Sempitnya lapangan pekerjaan di perdesaan dan seretnya peredaran uang di perdesaan menambah daya dorong penduduk perdesaan melakukan urbanisasi.
Sayang, alasan klasik kembali muncul. Kebanyakan para pendatang hanya berbekal tekad tanpa keterampilan yang memadai. Kue lapangan pekerjaan perkotaan yang terbatas pun diperebutkan dengan ketat. Tidak mengherankan bila para pendatang ini harus tinggal di gubuk-gubuk liar, menjadi pengemis dan gelandangan di jalanan yang dapat kita saksikan setiap hari.
Gelandangan, pengemis, dan anak jalanan semata-mata bukan hanya menjadi masalah kota besar di negara-negara sedang berkembang, namun juga banyak terjadi di negara yang sudah maju. Hakekatnya persoalan mereka bukanlah kemiskinan belaka, melainkan juga eksploitasi, manipulasi, ketidakkonsistenan terhadap cara-cara pertolongan baik oleh mereka sendiri maupun pihak lain yang menaruh perhatian terhadap anak jalanan (anjal).
Khususnya Kota Bandung, para pengemis dan anjal belakangan ini menjadi suatu fenomena sosial yang sangat penting dalam kehidupan kota besar. Kehadiran mereka seringkali dianggap sebagai cermin kemiskinan kota, atau suatu kegagalan adaptasi kelompok orang tersebut terhadap kehidupan dinamis kota besar.
Pola kerja mereka kini mulai diubah. Jika dulu kita begitu akrab dengan anjal, gedeng, dan sejenisnya di lampu-lampu merah, namun sejak diberlakukan peraturan daerah tentang kebersihan, dan ketertiban, kini wajah kota sedikit bersih dari anjal, pengemis, gelandangan dan orang gila yang berkeliaran.
Ternyata keberadaan mereka tidak hilang begitu saja, pola dengan ekspansi di pusat-pusat perbelanjaan dan kompleks-kompleks perumahan pun jadi pilihan dan alternatif segar. Bahkan selama Ramadan dan menjelang Idulfitri mereka semakin akrab di sekitar masjid-masjid. Yang membuat kita tercengang adalah bagaimana pola kerja mereka yang begitu rapi. Kalau kita amati, di pusat-pusat perbelanjaan akan ditemukan pengemis yang berbeda setiap harinya, dan justru akan menemukan mereka di pusat perbelanjaan lainnya.
Mungkin perlu kerja sama dan usaha yang lebih keras untuk meminimalisasi ruang gerak mereka dengan sedikit mengacuhkan rasa iba untuk memberi. Tetapi apa mungkin mengingatkan masyarakat agar tidak membiasakan memberi sedekah atau sumbangan di jalanan, sebab hal ini yang menjadi faktor berkembangnya jumlah anjal dan pengemis? Mungkin fenomena ini akan tetap berkembang selama kota masih menjadi tumpuan.***
Penulis, "civitas" Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
dimuat di PIKIRAN RAKYAT, edisi 14 September 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar