Senin, 14 September 2009

PENGEMIS DAN POLA URBAN

Oleh Prakoso Bhairawa Putera S.

BULAN Ramadan merupakan bulan berjuta ampunan, sehingga setiap Muslim begitu mudah mengeluarkan lembaran uang dari kantong untuk mereka yang membutuhkan. Tradisi ini pun ternyata menjadi peluang baru bagi para pengemis yang ketika mendekati dan berada di bulan Ramadan ramai berderetan di masjid-masjid ataupun pusat perbelanjaan. Dalil pengemis "musiman" sepertinya jawaban awal mengenai fenomena yang muncul tidak hanya di kota Bandung, namun hampir di setiap kota metropolitan.

Tidak dapat dimungkiri, pertumbuhan penduduk di perkotaan di satu sisi menyebabkan pertumbuhan penduduk perdesaan mengalami stagnasi dan bahkan terdapat kecenderungan menurun. Hal ini juga menunjukkan adanya perubahan masyarakat perdesaan yang telah menjadi perkotaan. Data menunjukkan bahwa laju pertumbuhan penduduk di perkotaan jauh di atas laju pertumbuhan penduduk di daerah perdesaan. Pada tahun 1990, persentase penduduk perkotaan baru mencapai 31 persen dari total penduduk Indonesia. Namun, tahun 2000 telah mencapai 42 persen, dan diproyeksikan pada 2025, keadaannya berbalik, yaitu perkotaan berpenduduk 57 persen dan perdesaan 43 persen. Hal ini juga ditunjukkan dengan perbandingan kecepatan pertumbuhan penduduk perkotaan dan perdesaan yang semakin besar, yaitu dari 6:1 menjadi 14:1.

Perkembangan urban di Indonesia perlu diamati secara serius. Banyak studi memperlihatkan bahwa tingkat konsentrasi penduduk di kota-kota besar telah berkembang dengan pesat. Studi yang dilakukan Warner Ruts tahun 1987 menunjukkan bahwa jumlah kota-kota kecil (<100 ribu penduduk) sangat besar dibandingkan dengan kota menengah (500 ribu sampai 1 juta penduduk). Kondisi ini mengakibatkan perpindahan penduduk menuju kota besar cenderung tidak terkendali. Ada fenomena di mana kota-kota besar akan selalu tumbuh dan berkembang, kemudian membentuk kota yang disebut kota-kota metropolitan. Jakarta misalnya, telah lama menjadi kota terpadat di Asia Tenggara dengan perkiraan penduduknya mencapai 12 juta jiwa pada 1995. Diperkirakan sekitar 2015, Jakarta akan menduduki tempat kelima dalam 10 besar kota-kota terbesar di dunia.

Derasnya urbanisasi di Indonesia terjadi karena berbagai faktor. Kota dengan segala fasilitasnya menjadi daya tarik tersendiri bagi penduduk perdesaan. Cerita sukses dan penampilan fisik yang dipamerkan para pemudik saat Lebaran merupakan bumbu rangsangan tersendiri bagi penduduk perdesaan. Kehidupan glamor yang dipertontonkan media massa, khususnya televisi melalui sinetron dan format acara lain, menjadi suplemen mimpi untuk mengadu nasib dan mencari peruntungan penduduk perdesaan di perkotaan. Sempitnya lapangan pekerjaan di perdesaan dan seretnya peredaran uang di perdesaan menambah daya dorong penduduk perdesaan melakukan urbanisasi.

Sayang, alasan klasik kembali muncul. Kebanyakan para pendatang hanya berbekal tekad tanpa keterampilan yang memadai. Kue lapangan pekerjaan perkotaan yang terbatas pun diperebutkan dengan ketat. Tidak mengherankan bila para pendatang ini harus tinggal di gubuk-gubuk liar, menjadi pengemis dan gelandangan di jalanan yang dapat kita saksikan setiap hari.

Gelandangan, pengemis, dan anak jalanan semata-mata bukan hanya menjadi masalah kota besar di negara-negara sedang berkembang, namun juga banyak terjadi di negara yang sudah maju. Hakekatnya persoalan mereka bukanlah kemiskinan belaka, melainkan juga eksploitasi, manipulasi, ketidakkonsistenan terhadap cara-cara pertolongan baik oleh mereka sendiri maupun pihak lain yang menaruh perhatian terhadap anak jalanan (anjal).

Khususnya Kota Bandung, para pengemis dan anjal belakangan ini menjadi suatu fenomena sosial yang sangat penting dalam kehidupan kota besar. Kehadiran mereka seringkali dianggap sebagai cermin kemiskinan kota, atau suatu kegagalan adaptasi kelompok orang tersebut terhadap kehidupan dinamis kota besar.

Pola kerja mereka kini mulai diubah. Jika dulu kita begitu akrab dengan anjal, gedeng, dan sejenisnya di lampu-lampu merah, namun sejak diberlakukan peraturan daerah tentang kebersihan, dan ketertiban, kini wajah kota sedikit bersih dari anjal, pengemis, gelandangan dan orang gila yang berkeliaran.

Ternyata keberadaan mereka tidak hilang begitu saja, pola dengan ekspansi di pusat-pusat perbelanjaan dan kompleks-kompleks perumahan pun jadi pilihan dan alternatif segar. Bahkan selama Ramadan dan menjelang Idulfitri mereka semakin akrab di sekitar masjid-masjid. Yang membuat kita tercengang adalah bagaimana pola kerja mereka yang begitu rapi. Kalau kita amati, di pusat-pusat perbelanjaan akan ditemukan pengemis yang berbeda setiap harinya, dan justru akan menemukan mereka di pusat perbelanjaan lainnya.

Mungkin perlu kerja sama dan usaha yang lebih keras untuk meminimalisasi ruang gerak mereka dengan sedikit mengacuhkan rasa iba untuk memberi. Tetapi apa mungkin mengingatkan masyarakat agar tidak membiasakan memberi sedekah atau sumbangan di jalanan, sebab hal ini yang menjadi faktor berkembangnya jumlah anjal dan pengemis? Mungkin fenomena ini akan tetap berkembang selama kota masih menjadi tumpuan.***

Penulis, "civitas" Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

dimuat di PIKIRAN RAKYAT, edisi 14 September 2009

Pengembangan Daerah Berbasis Kemandirian

Pembangunan yang dilakukan negara-negara berkembang secara umum merupakan suatu proses kegiatan yang direncanakan dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi, perubahan sosial dan modernisasi bangsa untuk mencapai peningkatan kualitas hidup manusia dan kesejahteraan rakyat (diadaptasi dari Agus Suryono: 2001).

Bertitik tolak dengan hal tersebut maka pembangunan dimaknai sebagai proses perubahan sosial menuju ketataran kehidupan masyarakat yang lebih baik; selain itu juga pembangunan dapat dikatakan sebagai upaya manusia yang sadar, terencana dan melembaga; Sebagai proses sosial yang bebas nilai (value free); Memperoleh sifat dan konsep transendental, sebagai meta-diciplinary phenomenon, bahkan memperoleh bentuk sebagai ideologi (the idology of develommentalism); Sebagai konsep yang sarat nilai (value loaded), menyangkut proses pencapaian nilai yang dianut suatu bangsa secara makin meningkat; Pembangunan menjadi culture specific, situation specific dan time specific (Tjokrowinoto : 1987)

Pembangunan seharusnya merupakan suatu proses yang saling terkait antara proses pertumbuhan ekonomi, perubahan sosial dan demokrasi politik yang terjadi dalam lingkaran sebab akibat kumulatif (circular cumulative causation) (Myrdal, 1956, dari Agus Suryono, 2001)
Dalam pelaksanaan pembangunan di negara-negara berkembang tidak terlepas pula dari teori-teori pembangunan yang dipergunakan sebagai acuan dalam perencanaan, pelaksanaan maupun menilai dan mengukur kinerjanya. Teori pembangunan yang diterapkan adalah teori pembangunan yang berusaha memecahkan masalah yang dihadapi oleh negara-negara yang sedang berkembang yang tentunya berbeda dengan teori pembangunan di negara yang telah maju, karena berbagai faktor yang mempengaruhi, salah satunya misalnya untuk negara miskin (sedang berkembang) menghadapi persoalan bagaimana mempertahankan hidup (survival) sedangkan di negara yang sudah maju (adi kuasa) yang telah mencapai kemapanan sosial ekonominya (establish) persoalan yang dipikirkan adalah bagaimana mengembangkan politik prestisenya atau bahkan bagaimana benar-benar menjadi “polisi dunia” dalam semua aspek kehidupan baik politik, ekonomi, sosial budaya, ilmu pengetahuan, teknologi, maupun militer dari bangsa-bangsa di dunia (diadaptasi dari Agus Suryono: 2001).

Krisis ekonomi 1998 ditenggarai merusak sendi-sendi perekonomian nasional, ditandai dengan hancurnya kepercayaan terhadap perbankan Indonesia yang disebabkan penarikan dana secara besar-besaran oleh deposan yang kemudian diikuti pelarian modal ke luar negeri. Pada kondisi ini beberapa perusahaan nasional mengalami bangkrut akibat hutang yang semakin bertambah. Hampir semua kegiatan usaha mengalami kemandegkan, karena tingkat suku bunga mencapai 70%. Belum lagi ditambah permasalahan naiknya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika yang mencapai 500% (Kompas, 8 September 2004).

Akibat pelarian modal keluar negeri, cadangan devisa negara menyusut secara drastis. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negar mengalami defisit yang besar dan tidak mungkin dibiayai oleh kemampuan sendiri, karena hurang negara dan obligasi semakin membengkak. Hilangnya kepercayaan membuat harga saham di pasar modal turun tajam, sehingga menimbulkan kerugian besar masyarakat dan inverstor.

Pengangguran melonjak karena angkatan kerja semakin bertambah, sedangkan ekonomi nasional mengalami kebekuan. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal tidak dapat dihindari. Tetapi dibalik permasalahn tersebut, justru sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah UMKM) lah yang dapat bertahan. Berkat keuletan dan kemampuannya, UMKM telah membantu perekonomian bangsa baik di masa krisis maupun di masa pemulihan perekonomian Indonesia.
Menurut R. Maulana Ibrahim, ada empat aspek peranan yang dimiliki UMKM saat itu. Pertama, jumlah industrinya yang besar yaitu mencapai 42,3 juta unit usaha atau 90,9% dari total unit usaha dan terdapat dalam setiap sektor ekonomi (BPS, 2003). Kedua, potensinya yang sangat besar dalam penyerapan tenaga kerja yang mencapai 78,0 juta tenaga kerja atau 99,4% dari total angkatan kerja. Ketiga, kontribusi UMKM dalam pembentukkan PDB cukup signifikan yakni sebesar 56,7% dari total PDB. Keempat, memiliki sumbangan kepada devisa negara dengan nilai ekspor mencapai Rp 75,8 triliun atau 19,9% dari total nilai ekspor Indonesia.

Menyimak besarnya potensi tersebut, sektor usaha mikro telah mendudukan dirinya dalam posisi dan peran yang sangat strategis dalam perekonomian Indonesia. Ternyata peranan usaha mikro semakin dituntut untuk bisa menopang perekonomian daerah, dimana dengan pemberlakuan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, yang kemudian direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004 memberikan ruang bagi usaha ini untuk bisa menjadi salah satu ujung tombak sumber pendapatan bagi daerah. Namun walau demikian, keberhasilan untuk bertahan dalam masa krisis tidak serta merta menjadikan sektor ini mampu berkembang dengan baik. Banyak faktor yang mempengaruhi lambannya perkembangan usaha tersebut, antara lain perhatian dari pemerintah dan kalangan perbankan yang dirasakan masih kurang terutama dalam upaya pembiayaan, pengembangan, dan juga pendanaan kepada sektor ini.

Seiring perjalanan, ternyata kehadiran pemerintahan yang semakin berpihak kepada sektor Mikro untuk dapat mengatasi kemiskinan dan pengangguran terlebih untuk daerah-daerah pemekaran. Melihat hal ini semua, mau tidak mau pemberdayaan usaha mikro untuk menopang pembangunan daerah harus menjadi hal yang utama untuk dilakukan.

Permasalahan yang Timbul

Sesuai dengan kebijakan pemerintah untuk memberdayakan sektor usaha mikro agar menjadi lebih efisien, produktif dan berdaya saing menjadi sangat penting, terutama dalam usaha peningkatan kesejahteraan masyarakat daerah-daerah pemekaran (baru). Ternyata di satu sisi masih mempunyai permasalahan yang signifikan.

Permasalahan tersebut terdapat pada kendala-kendala bagi usaha mikro dalam pertumbuhan dan perkembangannya menuju usaha yang lebih besar, maju, dan mampu berkompetisi di pasar global, yaitu.

Pertama, dari Aspek Permodalan Usaha, termasuk diantaranya; modal dari pihak luar (bank) sangat kecil. Hal ini berkaitan dengan persyaratan untuk memperoleh modal sulit dipenuhi oleh pengusaha yang kebanyakan bergerak di sektor informal, tingkat pengembalian pinjaman relatif rendah dan terbatasnya kemampuan untuk menghimpun dana dengan kemampuan sendiri. Permasalah ini lebih disebabkan masih adanya persepsi keliru dari pihak pemberi dana, yang menganggap Usaha Mikro sebagai debitur yang “merepotkan”, berisiko tinggi dan kurang menguntungkan serta menimbulkan biaya overhead yang cukup besar untuk melayaninya. Persepsi ini timbul karena terbatasnya pemahaman pada sebagian besar bank mengenai karakteristik Usaha Mikro. Selain itu, orientasi bank selama ini yang terfokus kepada segmen korporat yang berakibat pada minimnya Sumberdaya Manusia yang kompeten dalam menangani debitur Usaha Mikro. Di sisi lain, jaringan kantor bank juga masih terbatas baik dalam jumlah maupun penyebarannya sehingga sulit menjangkau sentra-sentra pengusaha mikro di pelosok daerah.

Aspek kedua adalah menyangkut Pemasaran dan Distribusi Produk. Sistem pengelolaan yang masih sederhana, masih tergantung figure dari pada sistem manajerial yang baik, jika ada peluang besar kemampuan untuk mengisi terbatas, belum dimanfaatkannya teknologi informasi dalam pemasaran.

Ketiga adalah Aspek Sumberdaya Manusia sendiri, yang mencakup diantaranya kualitas sumberdaya manusia yang masih sangat rendah, tingkat profesional yang masih rendah, belum menggunakan teknologi informasi secara maksimal, belum dimanfaatkannya bentuk kerjasama seperti: korporasi, perusahaan terbatas secara intensif. Dengan adanya keterbatasan kemampuan sumberdaya manusia inilah yang menyebabkan perbankan sulit menyelesaikan persyaratan administratif. Pada dunia perbankan untuk dapat mengakses kredit, usaha mikro harus mempunyai pembukuan yang jelas sehingga perbankan dapat dengan jelas mengetahui informasi mengenai usaha dan prospeknya. Tetapi pada umumnya hal ini tidak dimiliki oleh usaha mikro.

Mengingat proposi perannya yang begitu besar dan menyangkut banyak tenaga kerja yang terlibat dalam usaha tersebut, oleh karena itu pemerintah berusaha mencarai best pratices pengembangan dan penyelenggaraan lembaga dan sistem pembiayaan usaha mikro yang dikembangkan melalui berbagai pendekatan.

Pemberdayaan Usaha Mikro

Pemberdayaan adalah kata yang mulai dikenal pada tahun 1970-an dan lebih terkenal lagi di era 1990-an. Kata itu terus bergema baik di surat kabar, pada diskusi atau seminar mengenai pembangunan. Pemberdayaan jika ditelaah dari tujuannya berusaha untuk membuat seseorang atau kelompok menjadi lebih mengetahui potensi dan kendala yang dimiliki kemudian menjadikan sebagai dasar tindakan atau aksi memperbaiki hidup.

Pemberdayaan merupakan sebuah konsep dimana adanya kemampuan untuk menganalisis permasalahan dan potensi serta diimplementasikan dalam rangka memperbaiki hidup. Pemberdayaan akan mengakibatkan proses perubahan sosial yang memungkinkan suatu kondisi menjadi lebih berdaya dalam menjalani hidupnya. Di sini masyarakat yang diberdayakan jadi paham betul mengenai kondisi lingkungan sekitarnya dan dirinya sendiri. Mereka bertindak dalam rangka untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dengan menyadari terlebih dahulu kekuatan yang ada pada diri dan lingkungannya.

Dengan memperhatikan indikasi permasalahan, maka perbaikan sektor usaha mikro pada dasarnya bertujuan untuk penataan peranan usaha mikro pada kondisi yang memungkinkan sehingga dapat menyangga sistem kehidupan secara seimbang, dinamis dan berkelanjutan (sustainable), terutama bagi pembangunan daerah.

Pembinaan dan pengembangan sektor usaha mikro untuk konteks waktu sekarang ini dituntut untuk lebih transparasi, akuntabilitas, dan networking sehingga kontrol masyarakat semakin ketat.

Dalam Bidang Pemberdayaan Usaha Kecil, Menengah dan Koperasi Pertama, peningkatan nilai tukar petani yang dapat memberi insentif bagi kegiatan pertanian, khususnya dalam produksi pangan, agar tingkat kesejahteraan petani dapat diperbaiki secara luas dan terjadi peningkatan produksi secara berarti untuk mengurangi tingkat ketergantungan kepada impor pangan dari luar negeri. Erat kaitannya dengan kebijaksanaan ini pemerintah juga menjamin harga dasar pendapatan petani, khususnya para petani penghasil padi.

Kedua, dalam rangka menciptakan mekanisme pasar yang dapat menciptakan efisiensi alokasi sumber daya ekonomi, pemerintah telah mendorong agar usaha kecil, menengah dan koperasi dapat lebih terlibat di dalam sistem distribusi nasional. Upaya ini dimaksudkan pula agar penentuan harga secara secara sepihakoleh pelaku ekonomi besar, yang dapat menciptakan ekonomi biaya tinggi, dapat dihindarkan.

Upaya ini telah membuahkan hasil, dengan terjadinya penurunan secara berarti berbagai harga kebutuhan pokok, sehingga dalam tiga bulan terakhir tahun 1998 inflasi dapat ditekan secara berarti.

Ketiga, memberikan pelayanan secara lebih mudah dan sederhana, namun dengan tetap mempertimbangkan kaidah penyaluran kredit secara sehat kepada sektor usaha kecil, menengah dan koperasi. Kebijakan ini penting artinya agar pengangguran terbuka dapat diatasi dengan peningkatan tingkat penyerapan kesempatan kerja disekor usaha kecil, tatkala banyak usaha besar ini masih memerlukan waktu untuk dapat bangkit kembali. Kebijakan ini juga penting sebagai bagian dari upaya untuk pengentasan kemiskinan secara berkelanjutan.

Keempat, mendorong berbagai usaha yang berbasis pada sumber daya alam Indonesia –khususnya yang berorientasi ekspor—agar kelompok usaha ini dapat berkembang seiring dengan upaya peningkatan peranan usaha kecil, menengah dan koperasi secara langsung, maupun melalui program kemitraan dengan usaha besar. Erat kaitannya dengan kebijaksanaan ini adalah upaya untuk melaksanakan pemerataan kesempatan berusaha, peningkatan nilai tambah melalui pengembangan industri pengolahan, serta memperluas jangkauan untuk pemasaran internasional.

Selanjutnya, upaya untuk mendorong pengembangan Usaha Kecil, Menengah, dan Koperasi (UKMK) yang mempunyai peran yang signifikan dalam menggerakkan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja tetap menjadi prioritas. Aktivitas ekonomi UKMK yang berjumlah sekitar 41,4 juta unit (99,9 persen dari total jumlah usaha secara nasional) pada tahun 2002 merupakan wujud partisipasi bagian terbesar masyarakat dalam peningkatan kesejahteraan nasional. Di samping itu, sampai dengan akhir tahun 2002, UKMK mampu menyerap 99,5 persen dari seluruh tenaga kerja nasional yang bekerja, meliputi 88,7 persen di usaha kecil dan 10,8 persen di usaha menengah.

Kontribusi UKMK terhadap pembentukan produk domestik bruto (PDB) non-migas pada tahun 2002 mencapai 63,9 persen. Produktivitas UKM meningkat namun masih terdapat kesenjangan produktivitas yang lebar antara UKM dan usaha besar. Apabila diukur berdasarkan perbandingan antara nilai tambah (PDB) non-migas dengan jumlah unit UKM, produktivitas per unit usaha untuk usaha kecil dan usaha menengah masing-masing mencapai Rp16,0 juta dan Rp4,0 milyar sedangkan untuk usaha besar mencapai Rp233,6 milyar.

Upaya penciptaan iklim yang kondusif bagi UKMK pada tahun 2002 sudah menunjukkan kemajuan dibandingkan dengan tahun 2001. Beberapa daerah sudah berupaya menyederhanakan perijinan melalui pengembangan One-Stop Service (pelayanan terpadu) dan merevisi peraturan-peraturan yang menghambat sekaligus berusaha mengurangi dampak negatif yang mungkin ditimbulkannya. Namun masih banyak daerah lain yang menganggap UKMK sebagai sumber pendapatan asli daerah dengan mengenakan pungutan-pungutan baru bagi UKMK sehingga biaya transaksi UKMK meningkat. Di tingkat nasional, upaya memperkuat landasan hukum bagi UKMK dilakukan dengan penyusunan RUU Usaha Mikro, Kecil dan Menengah untuk mengganti UU No. 9 Tahun 95 tentang Usaha Kecil dan Inpres No. 10 Tahun 99 tentang Usaha Menengah, dan dilanjutkannya penyelesaian RUU tentang Koperasi sebagai perubahan terhadap UU No. 25 Tahun 92. Upaya-upaya penyempurnaan iklim usaha tersebut dilanjutkan dalam tahun 2003 dan perlu semakin ditingkatkan dalam tahun 2004.

Beberapa upaya dalam rangka peningkatan akses UKMK terhadap sumberdaya produktif pada tahun 2002 juga menunjukkan perkembangan yang positif. Pada pertengahan tahun 2002 telah dimulai upaya pengembangan sistem informasi kredit dan biro kredit, serta fasilitasi penyelesaian hutang UKM melalui penerbitan Keppres No. 56 Tahun 2002 tentang Restrukturisasi Kredit UKM. Selain itu, tercatat peningkatan kapasitas perbankan dalam penyaluran kredit kepada UKM, serta peningkatan fasilitasi pembiayaan dari pemerintah dalam bentuk dana bergulir, dan penjaminan kredit bagi 494 UKMK di 17 propinsi. Namun demikian, masih dibutuhkan adanya pemantauan dan evaluasi yang lebih baik terhadap pelaksanaan Keppres Nomor 56/2002, partisipasi perbankan dalam penyaluran kredit, dan pengelolaan dana bergulir sehingga tepat sasaran, transparan dan bertanggung-gugat. Selanjutnya berkenaan dengan Surat Utang Pemerintah (SUP) Nomor SU-005/MK/1999, telah disalurkan sebesar Rp850 milyar bagi pendanaan KKPA-TR dan Kkop-Pangan dari dana SUP yang tersedia sebesar Rp3.097,9 milyar. Dalam rangka mendukung pendanaan kredit kepada usaha mikro dan kecil, pemanfaatan dana SUP direncanakan untuk ditingkatkan yang disertai dengan perbaikan mekanisme dan persyaratan penyalurannya dengan memperhatikan baik aspek kepentingan usaha mikro dan kecil maupun aspek kolektibilitas pengembalian kredit.

Perkembangan akses UKM terhadap sumberdaya produktif non-finansial selama tahun 2002 di antaranya ditandai dengan peningkatan ketersediaan penyedia jasa layanan pengembangan usaha (business development services-BDS) baik yang difasilitasi pemerintah (pusat dan daerah) maupun swasta; dan tumbuhnya klaster/sentra UKM di berbagai daerah. Pengembangan klaster/sentra di berbagai daerah yang diintegrasikan dengan pengembangan BDS juga terkait dengan upaya peningkatan kewirausahaan dan daya saing UKMK. Fasilitasi bagi BDS dan sentra disediakan dalam bentuk dukungan modal awal padanan (matching fund) bergulir, bantuan teknis (pendampingan dan pelatihan), dan pengembangan jaringan BDS.

Pada tahun 2002, telah dikembangkan 332 sentra UKM dan BDS di seluruh Indonesia. Sementara itu, upaya peningkatan perilaku kewirausahaan dan daya saing UKMK terus dilanjutkan dalam tahun 2002, terutama melalui fasilitasi kegiatan pelatihan, magang, serta perkuatan kebijakan dan modul/kurikulum diklat kewirausahaan, pengelolaan usaha dan perkoperasian. Permasalahan internal yang melekat pada UKMK sampai saat ini belum tuntas tertangani, seperti rendahnya kualitas sumber daya manusia dalam hal kemampuan manajemen, organisasi, teknologi, dan pemasaran; lemahnya kompetensi kewirausahaan; dan terbatasnya kapasitas UKM untuk mengakses permodalan, informasi teknologi dan pasar, serta faktor produksi lainnya. Selain itu, tantangan perdagangan bebas yang semakin besar terutama setelah pemberlakuan AFTA pada tahun 2003 membutuhkan perbaikan iklim usaha, terutama di bidang perdagangan dalam negeri dan investasi.

Melihat permasalahan dan tantangan ke depan dan percepatan transformasi struktural dan pertumbuhan ekonomi yang sekaligus menciptakan lapangan kerja, kerangka pemberdayaan UKMK tahun 2004 akan lebih diprioritaskan pada langkah-langkah untuk mempercepat pembenahan kelembagaan termasuk kebijakan dan regulasi yang bersifat lintas sektor dan lintas wilayah terutama yang merupakan disinsentif bagi UKMK, memperluas berkembangnya institusi pendukung seperti teknologi, jaringan pemasaran dan skema pembiayaan. Di samping itu, perhatian yang besar juga ditujukan untuk mengembangkan lebih lanjut UKM orientasi ekspor, UKM dengan kandungan nilai tambah tinggi terutama yang menggunakan sumberdaya alam/lokal, serta usaha menengah yang merupakan supporting industry.

Sejalan dengan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin, pengembangan usaha skala mikro secara lebih meluas dilakukan dengan meningkatkan kegiatan pelatihan, bantuan teknis, dan meningkatkan akses ke sumberdaya ekonomi termasuk pengembangan lembaga keuangan mikro (LKM). Upaya tersebut juga disertai dengan memberikan kesempatan usaha bagi kelompok masyarakat miskin dan penganggur yang memiliki keterbatasan untuk berpartisipasi dalam arus ekonomi utama, dan berwirausaha secara formal untuk mendapatkan penghasilan yang tetap. Selain itu, untuk memperkuat kedudukan LKM, saat ini sedang dipersiapkan penyusunan RUU tentang LKM.

Lebih jelasnya bentuk kebijakan dan pola pemberdayaan usaha mikro dapat dilaksanakan sebagai berikut;

Bentuk Kebijakan

1. Bentuk kebijakan keterbukaan atau tidak eksklusif.
Pemberdayaan usaha mikro tidak semata-mata didasarkan pada kondisi objektif yang ada tetapi juga harus mampu mengatasi kecenderungan dinamika global, seperti pasar bebas, globalisasi informasi dan kecenderungan otonomi daerah.

2. Bentuk kebijakan integrative dan aplikatif.
Bentuk kebijakan ini didasrkan pada pengalaman yang sudah-sudah, di mana kebijakan pembangunan usaha mikro tidak incule dalam kebijakan pembangunan secara umum, hanya merupakan efek samping dan kuratif. Dan kebijakan integeratif tersebut benar-benar dapat direalisasikan oleh usaha mikro.

3. Kebijakan yang terfokus dan terarah.
Kebijakan pemberdayaan usaha mikro harus terfokus dan terarah dan sesuai dengan visi, misi, dan sasaran usaha mikro.

Penutup

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan pembangunan daerah dengan penerapan konsep pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) didukung dengan pendekatan pembangunan manusia (human development), sebagai manifestasi paradigma pembangunan manusia (people centered development paradigm) diperlukan beberapa persyaratan yaitu :

1. Perubahan mendasar sikap dan karakter aparatur pemerintah yaitu mengembangkan kepekaan (responsiveness), bertanggungjawab (responsibility) baik objective responsibility (3 E) maupun subjective responsibility (2E & F) dan representatif (representativeness) yaitu tidak menyalahgunakan wewenang (power abuse) maupun melampaui wewenang yang dimiliki (excessive power) dalam pelaksanaan tugas;

2. Keseimbangan aktualisasi peran elemen-elemen “Trias Politica”yang berarti tidak adanya dominasi atau lemahnya salah satu elemenpun apakah eksekutif, legislatif maupun yudikatif;

3. Penerapan sistem “desentralisasi” secara proporsional yang berarti kemampuan pemerintah daerah mengembangkan potensi daerah untuk kepentingan publik.

Implikasi dan Saran

Ada tiga saran yang dapat menjadi masukan bagi pemerintah maupun bagi legalitas dan system administrasi lembaga keuangan (bank), dan bagi penyelenggaraan Usaha Mikro.

a) saran-saran yang berkaitan dengan Kebijakan Pemerintah.
- Pemerintah sebaiknya mempunyai system kelembagaan yang komperhensif yang mampu digerakkan secara bersama dengan koordinasi menteri Negara koperasi usaha kecil dan menengah.
-Perlu adanya kebijkan dalam perdagangan dan industri yang berorintasi pada ekspor dan import dengan hubungan kerja yang didukung oleh potensial usaha mikro di dalam Negara.
-Investasi asing (joint venture, transfer of technology, sub-kontrak dan bentuk lain yang sejanis) yang membawa keuntungan bagi Negara sebaiknya didorong dengan kesempatan dan perlakuan sama terhadap investasi asing seperti diatas bagi perkembangan perusahaan kecil dan menengah dalam jangka panjang.

b) saran-saran yang berkaitan dengan legalitas dan system administasi lembaga keuangan (bank)
- legalitas dan system administrasi yang berkaitan dengan usaha mikro sebaiknya ditempatkan di tiap-tiap propinsi atau kabupaten/kota sesuai dengan paradigma otonomi daerah. Hal ini dilakukan untuk mengurangi dampak sentralisasi dan panjangnya birokrasi administrasi
- Perlu adanya bank yang dapat menjangkau di mana para pelaku usaha mikro berdomisili. Hal ini terutama dapat dilakukan oleh bank pembangunan di daerah-daerah.

c) saran-saran yang berkaitan dengan implementasi penyelenggaraan Usaha Mikro.
- Untuk menjangkau masyarakat pelaku usaha mikro yang miskin, dan terbatas asset dan fasilitas yang dimiliki, pemerintah daerah perlu mengembangkan model dimana masyarakat miskin dapat memperoleh pinjaman karena mereka memperoleh rekomendasi dari guarantee offices. Rekomendasi ini dapat direalisasi melalui tokoh agama, tokoh masyarakat, dan sebagainya.
-Disamping bantuan dana, sebaiknya pemerintah juga memberikan bantuan teknis dan pembinaan moral.
-Bantuan teknis yang berbentuk program traning, kursus bantuan alat teknologi, sebaiknya tidak diberikan secara Cuma-Cuma, tetapi dengan biaya murah atau memperoleh subsidi dari pemerintah.
-Perlu adanya system pengecualiaan kewajiban membayar pajak bagi pelaku usaha mikro yang baru berdiri samapai batas waktu ditentukan oleh peratutan daerah yang ada.

Penulis adalah Peneliti Muda Kebijakan dan Perkembangan Iptek – LIPI, Jakarta

dimuat di MAJALAH TERAS, edisi September 2009

Kamis, 10 September 2009

Riset Untuk Penguatan Pangan

Oleh Prakoso Bhairawa Putera

Masa depan pangan Indonesia bisa ditentukan dengan riset, dengan catatan adanya tata kelola yang baik, yakni adanya relasi antara pemerintah, perguruan tinggi, petani, dan swasta bisa berlangsung secara seimbang

SEJAK setahun lalu, harga pangan dibelahan dunia benar-benar melonjak tinggi. Tercatat mulai 2005 hingga sekitar Agustus 2008, harga gandum dan jagung naik tiga kali lipat, sementara harga beras lima kali lebih mahal. Kenaikan ini serta merta menjadikan 20 negara kebingunan dan 75 juta jiwa penduduk mulai kesulitan pangan.

Namun bila dicermati, kenaikan ini terjadi ketika para petani penghasil pangan dunia sedang mengalami surplus terbanyak dalam sejarah. Beberapa peneliti di bidang pangan dunia seperti yang dilaporkan oleh National Geographic Indonesia (Juni 2009) menyadari bahwa sepanjang 10 tahun terakhir, penduduk dunia telah mengkonsumsi pangan 10 kali lipat lebih banyak dari pada yang dihasilkan oleh petani.

Kondisi semacam ini merupakan pengulangan yang terjadi pada periode 1943. Ketika itu tidak lebih empat juta penduduk meninggal di Benggala India. Kondisi ini kemudian berangsur membaik setelah selama dua dasawarsaa India mengimpor bahan pangan untuk asupan penduduknya. Revolusi Hijau hadir di era 1960-an dengan kerja keras peneliti India dibantu oleh Norman Borlaug seorang pemulia tanaman AS. Hasilnya tak tanggung-tanggung, pada 1970 petani di India berhasil memanen ladangnya tiga kali lipat.

Keberhasilan ini merupakan sebuah contoh dimana pelibatan peneliti untuk menghasilkan hasil tanaman yang bisa membawa kemakmuran di suatu negara telah diterapkan secara baik. Oleh karena itu, riset untuk penguatan pangan sangat diharapkan untuk menjadikan negeri ini swasembada pangan.


Riset Pangan

Ironis benar jika menyaksikan sebuah negara agraris melakukan impor terhadap kebutuhan pangan, mulai dari gandum, kedelai, jagung, susu, gula, bahkan beraspun masih impor. Sebenarnya sejak revolusi hijau bergulir di Indonesia, kegiatan pertanian dan pemenuhan produksi pangan telah mengarah pada paket teknologi produksi baru. Paket ini telah mengubah corak bertani masa lalu yang serba organik, terpadu dan berbasis potensi serta kearifan spesifik lokal menjadi serba kimiawi, monokultur, padat asupan dari luar dan serba diseragamkan. Seiring hal tersebut juga terjadi sawahisasi, berasisasi dan racunisasi. Pada tataran ini segenap potensi lokal sumberdaya petani telah dihilangkan secara sistematis dari cara pandang, pengetahuan dan sistem kewargaan Bangsa Indonesia.

Sistem seperti ini disadari sebagai pola yang tidak berwawasan pembangunan berkelanjutan, akhirnya banyak petani mencoba kembali pada lokalitas dan pengembangan dengan inovasi kekinian. Pada tataran lain peneliti-peneliti yang selama ini berkutat dengan kemampuan di laboratorium ataupun lapangan mulai mencari-cari formula yang tepat untuk menghasilkan produk pangan untuk mendukung hasil produksi pangan yang lebih baik.

Secara makro, jika berbicara riset maka hal yang perlu disadari bahwa kegiatan riset bukanlah wilayah otonom, tetapi berdiri sebagian bagian dari desain besar kebijakan pembangunan ekonomi yang memang merupakan wilayah politik.

Kalimat tersebut bukanlah karangan belaka, riset pangan telah membuktikan. Sebagai contoh; kemajuan riset pangan di Thailand merupakan pilihan dari keputusan politik kerajaan yang mencanangkan Thailand sebagai Kitchen of the World. Begitu pula meningkatnya gairah riset pangan di Indonesia tahun 1970-1980-an sebagai konsekuensi dari keputusan politik rezim Orde Baru untuk mewujudkan swasembada beras.

Sependapat dengan Arif Satria (2008) bahwa dunia riset memang punya kelemahan, tetapi ketika arah kebijakan pembangunan ekonomi tidak jelas tentu akan menyebabkan arah riset juga tidak jelas dan alokasi dana untuk riset juga tidak berdasarkan prioritas. Sehingga, perguruan tinggi dan lembaga-lembaga riset juga melakukan kegiatan riset sendiri-sendiri dengan agenda yang berbeda-beda.

Sebenarnya pemerintah telah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 68 tahun 2002 sebagai pijakan implementasi kebijakan pengembangan teknologi sektor pangan. Inovasi dalam bentuk perbaikan teknologi memiliki pilar besar yakni adanya kebutuhan untuk aktivitas riset. Kondisi ini disadari betul oleh pemerintah dengan adanya respon dari Kementerian Riset dan Teknologi dengan dikeluarkannya Buku Putih pengembangan pangan Indonesia 2005-2025. Lebih jauh kebijakan tersebut dilanjutkan dengan diterbitkannya Agenda Riset Nasional (ARN) yang didalamnya berisi acuan kegiatan riset di bidang pangan untuk 2005-2009.

Namun, sangat disayangkan lima tahun ARN berjalan, pelaku riset tidak dapat memaksimalkan arah dari agenda tersebut.

Hasil penelitian Sri Rahayu, dkk (2009) menjelaskan sektor pangan Indonesia, selama ini telah melakukan pengembangan teknologi pangan di enam bidang kajian besar yang meliputi (1) teknologi budaya tanaman, ternak dan ikan,;(2). Teknologi pengolahan pangan;(3) teknologi panen dan pascapanen;(4) teknologi pengujian mutu dan keamanan pangan;(5). Kajian sosial budaya pangan; dan (6) riset sains dasar. Untuk bidang kajian 1,2, dan 3, kecenderungan kegiatan riset di Indonesia telah mencapai tingkatan uji prototipe. Sedangkan pada bidang kajian sosial budaya dan pangan sebagian riset di Indonesia mengulas tentang kajian teoritik dan kajian kebijakan. Di sisi lain, kajian riset sains dasar merupakan kajian yang masih fokus pada pengujian teoritis.

Masa depan pangan Indonesia bisa ditentukan dengan riset, dengan catatan adanya tata kelola yang baik, yakni adanya relasi antara pemerintah, perguruan tinggi, petani, dan swasta bisa berlangsung secara seimbang. Pemerintah memiliki institusi riset sendiri, begitu pula perguruan tinggi dan swasta. Ketiganya jarang ada koordinasi, komunikasi, dan kolaborasi. Akibatnya akumulasi kekuatan tidak terjadi, agenda riset tumpang tindih dan duplikatif, dan efisiensi-efektivitas rendah, padahal SDM peneliti kita sangat handal yang tak kalah dari negara lain.***


dipublikasi di Bangka Pos, edisi 09 September 2009