Masa depan pangan Indonesia bisa ditentukan dengan riset, dengan catatan adanya tata kelola yang baik, yakni adanya relasi antara pemerintah, perguruan tinggi, petani, dan swasta bisa berlangsung secara seimbang
SEJAK setahun lalu, harga pangan dibelahan dunia benar-benar melonjak tinggi. Tercatat mulai 2005 hingga sekitar Agustus 2008, harga gandum dan jagung naik tiga kali lipat, sementara harga beras lima kali lebih mahal. Kenaikan ini serta merta menjadikan 20 negara kebingunan dan 75 juta jiwa penduduk mulai kesulitan pangan.
Namun bila dicermati, kenaikan ini terjadi ketika para petani penghasil pangan dunia sedang mengalami surplus terbanyak dalam sejarah. Beberapa peneliti di bidang pangan dunia seperti yang dilaporkan oleh National Geographic Indonesia (Juni 2009) menyadari bahwa sepanjang 10 tahun terakhir, penduduk dunia telah mengkonsumsi pangan 10 kali lipat lebih banyak dari pada yang dihasilkan oleh petani.
Kondisi semacam ini merupakan pengulangan yang terjadi pada periode 1943. Ketika itu tidak lebih empat juta penduduk meninggal di Benggala India. Kondisi ini kemudian berangsur membaik setelah selama dua dasawarsaa India mengimpor bahan pangan untuk asupan penduduknya. Revolusi Hijau hadir di era 1960-an dengan kerja keras peneliti India dibantu oleh Norman Borlaug seorang pemulia tanaman AS. Hasilnya tak tanggung-tanggung, pada 1970 petani di India berhasil memanen ladangnya tiga kali lipat.
Keberhasilan ini merupakan sebuah contoh dimana pelibatan peneliti untuk menghasilkan hasil tanaman yang bisa membawa kemakmuran di suatu negara telah diterapkan secara baik. Oleh karena itu, riset untuk penguatan pangan sangat diharapkan untuk menjadikan negeri ini swasembada pangan.
Ironis benar jika menyaksikan sebuah negara agraris melakukan impor terhadap kebutuhan pangan, mulai dari gandum, kedelai, jagung, susu, gula, bahkan beraspun masih impor. Sebenarnya sejak revolusi hijau bergulir di Indonesia, kegiatan pertanian dan pemenuhan produksi pangan telah mengarah pada paket teknologi produksi baru. Paket ini telah mengubah corak bertani masa lalu yang serba organik, terpadu dan berbasis potensi serta kearifan spesifik lokal menjadi serba kimiawi, monokultur, padat asupan dari luar dan serba diseragamkan. Seiring hal tersebut juga terjadi sawahisasi, berasisasi dan racunisasi. Pada tataran ini segenap potensi lokal sumberdaya petani telah dihilangkan secara sistematis dari cara pandang, pengetahuan dan sistem kewargaan Bangsa Indonesia.
Sistem seperti ini disadari sebagai pola yang tidak berwawasan pembangunan berkelanjutan, akhirnya banyak petani mencoba kembali pada lokalitas dan pengembangan dengan inovasi kekinian. Pada tataran lain peneliti-peneliti yang selama ini berkutat dengan kemampuan di laboratorium ataupun lapangan mulai mencari-cari formula yang tepat untuk menghasilkan produk pangan untuk mendukung hasil produksi pangan yang lebih baik.
Secara makro, jika berbicara riset maka hal yang perlu disadari bahwa kegiatan riset bukanlah wilayah otonom, tetapi berdiri sebagian bagian dari desain besar kebijakan pembangunan ekonomi yang memang merupakan wilayah politik.
Kalimat tersebut bukanlah karangan belaka, riset pangan telah membuktikan. Sebagai contoh; kemajuan riset pangan di Thailand merupakan pilihan dari keputusan politik kerajaan yang mencanangkan Thailand sebagai Kitchen of the World. Begitu pula meningkatnya gairah riset pangan di Indonesia tahun 1970-1980-an sebagai konsekuensi dari keputusan politik rezim Orde Baru untuk mewujudkan swasembada beras.
Sependapat dengan Arif Satria (2008) bahwa dunia riset memang punya kelemahan, tetapi ketika arah kebijakan pembangunan ekonomi tidak jelas tentu akan menyebabkan arah riset juga tidak jelas dan alokasi dana untuk riset juga tidak berdasarkan prioritas. Sehingga, perguruan tinggi dan lembaga-lembaga riset juga melakukan kegiatan riset sendiri-sendiri dengan agenda yang berbeda-beda.
Sebenarnya pemerintah telah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 68 tahun 2002 sebagai pijakan implementasi kebijakan pengembangan teknologi sektor pangan. Inovasi dalam bentuk perbaikan teknologi memiliki pilar besar yakni adanya kebutuhan untuk aktivitas riset. Kondisi ini disadari betul oleh pemerintah dengan adanya respon dari Kementerian Riset dan Teknologi dengan dikeluarkannya Buku Putih pengembangan pangan Indonesia 2005-2025. Lebih jauh kebijakan tersebut dilanjutkan dengan diterbitkannya Agenda Riset Nasional (ARN) yang didalamnya berisi acuan kegiatan riset di bidang pangan untuk 2005-2009.
Namun, sangat disayangkan lima tahun ARN berjalan, pelaku riset tidak dapat memaksimalkan arah dari agenda tersebut.
Hasil penelitian Sri Rahayu, dkk (2009) menjelaskan sektor pangan Indonesia, selama ini telah melakukan pengembangan teknologi pangan di enam bidang kajian besar yang meliputi (1) teknologi budaya tanaman, ternak dan ikan,;(2). Teknologi pengolahan pangan;(3) teknologi panen dan pascapanen;(4) teknologi pengujian mutu dan keamanan pangan;(5). Kajian sosial budaya pangan; dan (6) riset sains dasar. Untuk bidang kajian 1,2, dan 3, kecenderungan kegiatan riset di Indonesia telah mencapai tingkatan uji prototipe. Sedangkan pada bidang kajian sosial budaya dan pangan sebagian riset di Indonesia mengulas tentang kajian teoritik dan kajian kebijakan. Di sisi lain, kajian riset sains dasar merupakan kajian yang masih fokus pada pengujian teoritis.
Masa depan pangan Indonesia bisa ditentukan dengan riset, dengan catatan adanya tata kelola yang baik, yakni adanya relasi antara pemerintah, perguruan tinggi, petani, dan swasta bisa berlangsung secara seimbang. Pemerintah memiliki institusi riset sendiri, begitu pula perguruan tinggi dan swasta. Ketiganya jarang ada koordinasi, komunikasi, dan kolaborasi. Akibatnya akumulasi kekuatan tidak terjadi, agenda riset tumpang tindih dan duplikatif, dan efisiensi-efektivitas rendah, padahal SDM peneliti kita sangat handal yang tak kalah dari negara lain.***
dipublikasi di Bangka Pos, edisi 09 September 2009
Namun bila dicermati, kenaikan ini terjadi ketika para petani penghasil pangan dunia sedang mengalami surplus terbanyak dalam sejarah. Beberapa peneliti di bidang pangan dunia seperti yang dilaporkan oleh National Geographic Indonesia (Juni 2009) menyadari bahwa sepanjang 10 tahun terakhir, penduduk dunia telah mengkonsumsi pangan 10 kali lipat lebih banyak dari pada yang dihasilkan oleh petani.
Kondisi semacam ini merupakan pengulangan yang terjadi pada periode 1943. Ketika itu tidak lebih empat juta penduduk meninggal di Benggala India. Kondisi ini kemudian berangsur membaik setelah selama dua dasawarsaa India mengimpor bahan pangan untuk asupan penduduknya. Revolusi Hijau hadir di era 1960-an dengan kerja keras peneliti India dibantu oleh Norman Borlaug seorang pemulia tanaman AS. Hasilnya tak tanggung-tanggung, pada 1970 petani di India berhasil memanen ladangnya tiga kali lipat.
Keberhasilan ini merupakan sebuah contoh dimana pelibatan peneliti untuk menghasilkan hasil tanaman yang bisa membawa kemakmuran di suatu negara telah diterapkan secara baik. Oleh karena itu, riset untuk penguatan pangan sangat diharapkan untuk menjadikan negeri ini swasembada pangan.
Riset Pangan
Ironis benar jika menyaksikan sebuah negara agraris melakukan impor terhadap kebutuhan pangan, mulai dari gandum, kedelai, jagung, susu, gula, bahkan beraspun masih impor. Sebenarnya sejak revolusi hijau bergulir di Indonesia, kegiatan pertanian dan pemenuhan produksi pangan telah mengarah pada paket teknologi produksi baru. Paket ini telah mengubah corak bertani masa lalu yang serba organik, terpadu dan berbasis potensi serta kearifan spesifik lokal menjadi serba kimiawi, monokultur, padat asupan dari luar dan serba diseragamkan. Seiring hal tersebut juga terjadi sawahisasi, berasisasi dan racunisasi. Pada tataran ini segenap potensi lokal sumberdaya petani telah dihilangkan secara sistematis dari cara pandang, pengetahuan dan sistem kewargaan Bangsa Indonesia.
Sistem seperti ini disadari sebagai pola yang tidak berwawasan pembangunan berkelanjutan, akhirnya banyak petani mencoba kembali pada lokalitas dan pengembangan dengan inovasi kekinian. Pada tataran lain peneliti-peneliti yang selama ini berkutat dengan kemampuan di laboratorium ataupun lapangan mulai mencari-cari formula yang tepat untuk menghasilkan produk pangan untuk mendukung hasil produksi pangan yang lebih baik.
Secara makro, jika berbicara riset maka hal yang perlu disadari bahwa kegiatan riset bukanlah wilayah otonom, tetapi berdiri sebagian bagian dari desain besar kebijakan pembangunan ekonomi yang memang merupakan wilayah politik.
Kalimat tersebut bukanlah karangan belaka, riset pangan telah membuktikan. Sebagai contoh; kemajuan riset pangan di Thailand merupakan pilihan dari keputusan politik kerajaan yang mencanangkan Thailand sebagai Kitchen of the World. Begitu pula meningkatnya gairah riset pangan di Indonesia tahun 1970-1980-an sebagai konsekuensi dari keputusan politik rezim Orde Baru untuk mewujudkan swasembada beras.
Sependapat dengan Arif Satria (2008) bahwa dunia riset memang punya kelemahan, tetapi ketika arah kebijakan pembangunan ekonomi tidak jelas tentu akan menyebabkan arah riset juga tidak jelas dan alokasi dana untuk riset juga tidak berdasarkan prioritas. Sehingga, perguruan tinggi dan lembaga-lembaga riset juga melakukan kegiatan riset sendiri-sendiri dengan agenda yang berbeda-beda.
Sebenarnya pemerintah telah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 68 tahun 2002 sebagai pijakan implementasi kebijakan pengembangan teknologi sektor pangan. Inovasi dalam bentuk perbaikan teknologi memiliki pilar besar yakni adanya kebutuhan untuk aktivitas riset. Kondisi ini disadari betul oleh pemerintah dengan adanya respon dari Kementerian Riset dan Teknologi dengan dikeluarkannya Buku Putih pengembangan pangan Indonesia 2005-2025. Lebih jauh kebijakan tersebut dilanjutkan dengan diterbitkannya Agenda Riset Nasional (ARN) yang didalamnya berisi acuan kegiatan riset di bidang pangan untuk 2005-2009.
Namun, sangat disayangkan lima tahun ARN berjalan, pelaku riset tidak dapat memaksimalkan arah dari agenda tersebut.
Hasil penelitian Sri Rahayu, dkk (2009) menjelaskan sektor pangan Indonesia, selama ini telah melakukan pengembangan teknologi pangan di enam bidang kajian besar yang meliputi (1) teknologi budaya tanaman, ternak dan ikan,;(2). Teknologi pengolahan pangan;(3) teknologi panen dan pascapanen;(4) teknologi pengujian mutu dan keamanan pangan;(5). Kajian sosial budaya pangan; dan (6) riset sains dasar. Untuk bidang kajian 1,2, dan 3, kecenderungan kegiatan riset di Indonesia telah mencapai tingkatan uji prototipe. Sedangkan pada bidang kajian sosial budaya dan pangan sebagian riset di Indonesia mengulas tentang kajian teoritik dan kajian kebijakan. Di sisi lain, kajian riset sains dasar merupakan kajian yang masih fokus pada pengujian teoritis.
Masa depan pangan Indonesia bisa ditentukan dengan riset, dengan catatan adanya tata kelola yang baik, yakni adanya relasi antara pemerintah, perguruan tinggi, petani, dan swasta bisa berlangsung secara seimbang. Pemerintah memiliki institusi riset sendiri, begitu pula perguruan tinggi dan swasta. Ketiganya jarang ada koordinasi, komunikasi, dan kolaborasi. Akibatnya akumulasi kekuatan tidak terjadi, agenda riset tumpang tindih dan duplikatif, dan efisiensi-efektivitas rendah, padahal SDM peneliti kita sangat handal yang tak kalah dari negara lain.***
dipublikasi di Bangka Pos, edisi 09 September 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar