Senin, 20 Juli 2009

Kenapa Jadi Junkie, Kalau Mau Gaul?

Publikasi di PIKIRAN RAKYAT, edisi 13 Juli 2009


MUNGKIN sudah terlalu sering kita mendengar atau membaca dari pelbagai sumber mengenai narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (NAPZA). Meski demikian, hal ini harus menjadi perhatian bersama untuk mempersempit ruang penyebarannya di tengah peliknya kehidupan berbangsa dan bernegara.

Penyebaran NAPZA, terlebih narkotika di Indonesia setiap tahunnya cenderung mengalami peningkatan. Awal tahun delapan puluhan jaringan narkoba di Indonesia masuk dalam jaringan terbesar di Asia Tenggara. Dengan perangkat perundang-undangan yang relatif tidak tegas (saat itu) bagi pengedar ataupun pemakai menyebabkan kita dijadikan kawasan potensial peredaran sindikat narkoba dunia.

Berdasarkan data Dit IV/Narkoba per Januari 2009, kasus narkoba hingga tahun 2008 tercatat 115.404 dengan 176.344 tersangka. Sepanjang tahun 2008 lalu kasus narkoba telah mencatatkan 29.359 perkara dengan 44.694 tersangka. Sehingga bila dihitung sejak sebelas tahun yang lalu (1997) kasus narkoba di Indonesia mengalami kenaikan rata-rata 50,1% per tahun.

Narkotika pertama kali muncul dalam istilah Yunani yaitu nake yang artinya beku, lumpuh, dan dingin. Orang-orang di Amerika lebih mengenalnya dengan sebutan narcotic, dan di Malaysia lebih popular dengan sebutan dadah. Indonesia sendiri menamakan narkotika dan jenisnya dengan narkoba. Pada kalangan remaja/anak muda, mereka memberikan istilah bagi para pemakainya dengan junkie.

Pengaruh narkotika bergerak perlahan, tetapi pasti menghancurkan keberadaan bangsa karena konsumen terbesarnya adalah generasi-generasi yang akan melanjutkan kelangsungan bangsa ini di hari esok. Akankah generasi yang suka menutup diri, berbadan ceking, tingkat emosional tinggi, dan sulit diajak komunikasi, daya ingatnya terganggu, panik serta bermalas-malasan. Akan kita biarkah generasi yang rusak akibat narkoba bertambah, bertambah, dan bertambah lagi.

Penyalahgunaan dan dampaknya

Tingginya kasus penyalahgunaan narkoba di negeri ini secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh pada bertambahnya jumlah pengguna baru. Sebuah penelitian di tiga kota besar memperlihatkan 88% pemakai narkoba melalui jarum suntik menggunakan jarum tidak steril secara bergantian, namun hanya kurang dari sepertiga dari mereka yang menyadari bahwa dirinya berisiko untuk menularkan dan tertular HIV. Di Jakarta, satu dari dua pencandu narkoba terinfeksi HIV, sementara di Pontianak, Kalimantan Barat, lebih dari tujuh puluh persen pencandu narkoba suntik yang dites HIV ternyata menunjukkan hasil positif.

Seperti disebutkan sebelumnya, mayoritas pengguna narkotika berada dalam usia produktif dan aktif seksual (15-49 tahun). Dengan banyaknya jumlah penduduk Indonesia yang terjangkit penyalahgunaan narkoba, negara pun turut dirugikan dalam segi finansial. Berdasarkan referensi, bila satu persen penduduk Indonesia terjangkit penyalahgunaan narkoba, setidaknya terdapat 2,2 juta pencandu.

Ini berarti negara harus mengeluarkan dana penanggulangan masalah narkoba sebesar Rp 66 triliun per enam bulan. Jumlah ini akan semakin meningkat karena data dari Badan Narkotika Nasional (BNN) menyebutkan jumlah penyalahgunaan narkoba di Indonesia telah mencapai 3,3 persen dari total penduduk.

Para ahli di bidang ini acapkali mengingatkan kita agar menghindari penyakit sosial yang telah banyak merenggut korban akibat overdosis (od). Peran lingkungan dan teman sepermainan sangat menentukan. Terlebih keluarga sebagai kata kunci, terlalu banyak kasus penyalahgunaan yang dilakukan remaja dari kalangan ekonomi atas dan alasan mereka mungkin sudah terlalu basi bagi sebagian di antara kita mendengarkannya, yaitu tidak lain kurangnya kasih sayang dari orang tua. Ayah-ibu, papi-mami, bokap-nyokap adalah orang karier, supersibuk, waktu untuk keluarga terbatas dan memberikan perhatiannya melalui materi fisik saja. Sementara materi nonfisik berupa psikologis (kasih sayang) kepada buah hati mereka sedikit atau barangkali terlupakan.

Narkoba memiliki efek yang buruk bagi tubuh dan efek ini berbeda antara orang satu dengan yang lainnya. Efek langsung seperti kesenangan yang hebat, merasa sehat, berkurang rasa sakit, lapar, dan nafsu berhubungan intim. Pencandu juga rawan tertular virus hepatitis C dan AIDS melalui jarum suntik yang tidak steril. Kejadian infeksi virus hepatitis C pada pengguna narkotika lewat suntikan, dilaporkan mencapai 80,2 persen di Jakarta. Infeksi itu akan berkembang menjadi hepatitis C kronik pada 60-80 persen di antaranya. Sepuluh sampai 20 persen penderita hepatitis kronik akan mengalami sirosis hati dalam kurun waktu sepuluh tahun. Bahkan, sebanyak 20-30 persen pasien narkoba yang dirawat di Jakarta dinyatakan positif menghidap HIV.

Kenali sejak dini

Masa remaja merupakan peralihan masa kanak-kanak ke dewasa ditandai dengan pertumbuhan yang cepat pada diri seseorang baik jasmani, kejiwaan, maupun sosialnya. Terkadang perubahan itu tidak berjalan seimbang, misalnya saja jasmani pertumbuhannya begitu oke, tetapi perkembangan jiwanya tidak.

Hal ini bisa menimbulkan benturan dalam dirinya sehingga sering muncul perasaan bingung gelisah, tegang, dan ketakutan. Pada masa ini juga seseorang ingin mengetahui siapa dirinya. Tak jarang untuk mengetahuinya mereka mencoba hal-hal baru yang selama ini tidak dikenal dan dirasakan. Mereka juga berusaha untuk lepas dari bayang-bayang atau otoritas orang tua dan mulai berkelompok-kelompok membentuk perkumpulan setipe di antara mereka. Nah, pada saat-saat seperti inilah oknum-oknum yang menyesatkan dengan membawa narkoba masuk dalam lingkungan remaja.

Beberapa ahli pernah memberikan ciri-ciri remaja dengan risiko tinggi menjadi penyalah guna narkoba di antaranya : sifatnya mudah kecewa dan kecenderungan menjadi agresif dan destruktif untuk mengatasi kekecewaan itu. Sifatnya tidak dapat menunggu atau bersabar yang berlebihan apa yang diinginkan harus segera dipenuhi saat itu juga.

Adanya hambatan atau penyimpangan psikoseksual disebabkan proses identifikasi anak laki-laki pada ayahnya atau anak perempuan pada ibunya tidak berlangsung dengan baik. Akibatnya, anak mengalami kesulitan dalam bergaul dengan lawan jenis, malu, rendah diri, sukar didekati atau mendekati lawan jenis, suka menyendiri, terlibat masturbasi secara berlebihan atau tidak pernah masturbasi sama sekali.

Sifat menentang aturan atau cara yang resmi dalam masyarakat untuk mencapai apa yang diinginkan. Sifat suka mengambil risiko yang tidak tepat berlebihan atau terlalu besar risikonya sebagai suatu cara untuk memperlihatkan keberanian dan kehebatannya. Sifat cepat bosan, murung, dan merasa tertekan. Perilaku antisosial pada usia dini seperti tindakan kekerasan, mencuri, dan kejahatan lainnya. Perilaku menyimpang pada usia dini seks, berhenti sekolah, merokok pada usia yang sangat muda. Adanya keterbelakangan mental taraf pembatasan, karena keadaan ini mudah menimbulkan perasaan malu, curiga, rendah diri, dan kurangnya kemampuan untuk menyelesaikan persoalan.

Selain itu juga Keluarga Relawan LSM dan Individu Pemerhati NAPZA (Kerlip NAPZA) dalam brosurnya memberikan tanda-tanda seorang menggunakan NAPZA. Tanda-tanda tersebut dapat terlihat di sekolah dan di rumah. Di sekolah dikatakan bahwa apabila nilai pelajaran menurun, motivasi sekolah menurun, malas berangkat, dan malas membuat tugas-tugas sekolah, sering bolos, sering keluar kelas dan tidak kembali ke sekolah, mengantuk di kelas, sering bosan dan tidak memperhatikan guru, sering dipanggil guru karena tidak disiplin, meninggalkan hobi-hobinya yang terdahulu misalnya kegiatan ekstrakurikuler dan olah raga yang dulu digemarinya, mulai sering berkumpul dengan anak-anak yang tidak beres di sekolah, sering meminjam uang pada teman, berubah gaya berpakaian, tidak peduli pada kebersihan, teman lama ditinggalkan, bila ditanya sikapnya defensif atau penuh kebencian, dan mudah tersinggung merupakan tanda-tanda yang perlu diselidiki apakah ia menggunakan NAPZA.

Adapun tanda-tanda di rumah adalah semakin jarang mengikuti kegiatan keluarga, berubah teman dan jarang mau mengenalkan temannya, teman sebayanya makin tampak mempunyai pengaruh negatif, mulai melupakan tanggung jawab rutinnya di rumah, sering pulang lewat jam malam, sering ke disko atau pesta, waktu dihabiskan di kamar, malas makan dan jarang mau makan sama keluarga merupakan gejala awal seorang menggunakan narkoba. Kemudian berlanjut dengan sering menghabiskan uang tabungan, barang-barang berharga miliknya atau milik keluarga yang dipinjamkannya sering merongrong keluarga untuk minta uang dengan berbagai alasan, tidak mengizinkan orang tua masuk ke kamarnya, ada obat-obatan, kertas timah, bau-bauan yang tidak biasa di rumah, terutama kamar mandi dan kamar tidur atau ditemukan jarum suntik, namun bila ditanya ia akan mengatakan bahwa barang-barang itu bukan miliknya. Oleh karena itu, kenalinya tanda-tanda ini sejak dini karena terlambat mengetahuinya akan memperparah keadaan. Mari kita mulai dari diri dan keluarga kita untuk mengatakan say no to drugs.

Libatkan remaja

Hambatan utama pemberantasan peredaran selalu mengalami jalan buntu, pemerintah acapkali dibenturkan dengan berbagai permasalahan yang ada. Sebenarnya kunci pemberantasan bukan berada pada pemerintah saja, tetapi semua komponen di republik ini. Pemerintah wajib memberikan perangkat hukum yang lebih keras dan bila perlu "mematikan" bagi para sindikat yang terlibat di dalamnya, baik itu pengguna, pengedar maupun produsernya.

Kunci lain yang bisa dilakukan adalah memperbanyak kegiatan-kegiatan yang melibatkan remaja di dalamnya, dan tanpa henti-hentinya menyuarakan say no to drugs, klasik tetapi patut untuk disuarakan. Memperketat pengawasan terhadap anak-anak sekolah dari tingkat yang paling rendah (sekolah dasar) hingga perguruan tinggi. Selain itu yang tak kalah pentingnya adalah kehangatan keluarga. Keluarga merupakan komunitas pertama yang akan membentuk seseorang menjadi jiwa yang sehat, dengan kehangatan keluarga melalui komunikasi yang harmonis antaranggota di dalamnya bisa memperkuat hubungan dan kemantapan hati. Kemampuan orang tua dalam melihat perubahan yang terjadi pada anak-anaknya sangatlah penting sebagai langkah awal. Ketidakpahaman orang tua akan dunia kaum muda dan tantangan yang mereka hadapi di sekolah atau kampus, akan membuat orang tua tidak dapat menangkap gejala-gejala dini.

Anak-anak akan membutuhkan pendidikan dari ayah dan ibunya untuk menjadi anak yang mampu bersikap tegas. Keluarga yang cenderung menekan anak sehingga ia berkembang menjadi anak yang kodependen, akan mempersulit sang anak mengatakan tidak pada saat ia perlu mengatakan tidak dan saat ia perlu menciptakan batasan (boundary). Anak-anak kodependen sering sulit menolak ajakan teman. Ini juga yang akan mempersulit mereka menolak ajakan teman untuk memakai narkoba dan menolak ajakan berhubungan seks. Rasa tak percaya diri, rasa sungkan, membuat mereka lebih baik menekan perasaan dan tutup mulut.

Atas dasar hal ini, anak-anak perlu diberdayakan dengan membuatnya bebas berekspresi sehingga setiap ada masalah ia siap berdialog dengan orang tuanya kapan saja. Di sinilah pentingnya peran orang tua, bahwa kampanye say no to drugs takkan berhasil bila lingkungan keluarga dan sosial si anak tidak mendukung. Ini terkait dengan perkembangan mental dan emosional anak serta informasi yang mereka dapatkan dari orang tuanya mengenai realitas kehidupan sehingga ada antisipasi dari mereka menemui sejumlah masalah, termasuk narkoba, lalu HIV.

Bila anak terkena masalah, sangat penting bagi orang tua dan keluarga mengambil tindakan, tetapi bila hanya rasa malu atau keinginan menjaga nama baik keluarga menjadi tidak membantu. Inilah persoalan khusus yang mengkhawatirkan bila terjadi pada anak.

Selagi dini, masih ada jalan untuk memperbaiki setiap kerusakan dan permasalahan yang terjadi. Beri kesempatan kepada anak untuk berekspresi dan menunjukkan bakat dan kemampuan mereka karena setiap jiwa yang terlahir telah diberikan keistimewaan.

Keistimewaan itulah yang kemudian tumbuh menjadi minat dan bila diteruskan bisa menjadi prestasi yang membanggakan bersama. Hidup dengan kehangatan keluarga, cinta, dan penuh kasih sayang merupakan dambaan setiap orang. Lalu, kenapa itu tidak kita wujudkan pada keluarga kita? Sekali lagi, kehangatan – cinta – kasih sayang, dan say no to drugs. (Prakoso Bhairawa Putera S.)***

“Optimisme” Pelayanan Publik

Publikasi di PIKIRAN RAKYAT, edisi 01 Juli 2009


Oleh : Prakoso Bhairawa Putera S

Peneliti Kebijakan pada PAPPIPTEK – LIPI, Jakarta

HADIRNYA Undang-undang Pelayanan Publik yang baru disahkan 23 Juni kemarin membawa semangat optimisme bagi masyarakat umum untuk mendapatkan pelayanan yang lebih baik. Perjalanan panjang sejak diajukan pemerintah pada 7 Desember 2005 tertuntaskan sudah.

Kehadiran undang-undang ini tepat adanya, karena salah satu fungsi utama dalam penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi kewajiban aparatur pemerintah adalah penyelenggaraan pelayanan publik. Di dalam hukum administrasi negara Indonesia, berdasarkan pengertian umum istilah “pelayanan publik” diartikan sebagai: “segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah sebagai upaya pemenuhan kebutuhan orang, masyarakat, instansi pemerintah dan badan hukum maupun sebagai pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Dengan demikian pelayanan publik dapat dikatakan sebagai pemberian pelayanan prima kepada masyarakat yang merupakan perwujudan kewajiban aparatur pemerintah sebagai abdi masyarakat. Dalam memberikan pelayanan publik ada beberapa hal yang perlu dicatat yaitu penyelenggaraan pelayanan publik perlu memperhatikan dan menerapkan prinsip, standar, pola penyelenggaraan, biaya, pelayanan bagi penyandang cacat, lanjut usia, wanita hamil dan balita, pelayanan khusus, biro jasa pelayanan, tingkat kepuasan masyarakat, pengawasan penyelenggaraan, penyelesaian pendaduan sengketa, serta evaluasi kinerja penyelenggaraan pelayanan publik. Selain itu juga patut memperhatikan hak dan kewajiban bagi pemberi maupun penerima pelayanan umum dengan jelas dan diketahui secara pasti oleh masing-masing pihak.

Indeks Kepuasan Masyarakat

Pada isi undang-undang ini menempatkan masyarakat sebagai bagian terpenting dalam sebuah sistem. Pelibatan aktif masyarakat sangat diutamakan. Bahkan dalam salah satu pasalnya disebutkan tentang Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) yang akan diukur secara periodik dengan survei. Walaupun kegiatan semacam ini telah dilakukan oleh lembaga ataupun kalangan di wilayah-wilayah tertentu.

Dengan demikian disain kebijakan ini akan mengubah watak negara dan pejabat negara dari penguasa rakyat menjadi pelayan rakyat. Selain itu, juga memberi kejelasan dan pengaturan mengenai pelayanan publik dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar sesuai dengan hak-hak sipil, politik, ekonomi dan sosial budaya setiap warga negara dan penduduk atas suatu barang, jasa dan/atau pelayanan administrasi yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik di berbagai lembaga negara maupun korporasi.

Para penyelenggara pemerintahan negara lebih dituntut untuk menyatukan tindakan dan kebijaksanaan dengan tatanan nilai yang hidup dan berkembang di masyarakat, maka aparat haruslah sensitif, responsif, dan akuntabel. Sensitivitas dan responsibilitas pada dasarnya merupakan wujud sikap tanggung jawab aparat birokrasi terhadap kepentingan masyarakat. Sedangkan akuntabilitas merupakan perwujudan tanggung jawab publik dan pelayanan publik.

Pada dasarnya pengertian akuntabilitas itu sendiri memiliki dua dimensi. Pertama, berupa pemberian kewenangan kepada aparat birokrasi untuk menjalankan kekuasaannya, dan kedua, berupa pemberian keleluasaan kepada masyarakat untuk mengontrol kerja aparat birokrasi.

Menyikapi lahirnya undang-undang pelayanan publik maka ada tantangan besar dalam bagaimana menghadirkan pelayanan publik yang terukur, efektif dan efisien. Untuk menjawab tantangan tersebut, maka dalam UU ini ditegaskan perlunya kehadiran suatu organisasi penyelenggara pelayanan publik. Hal lain juga dipertegas dengan pengaturan mengenai penyelesaian pengaduan yang dapat dilakukan oleh penyelenggara pelayanan publik paling lambat enam puluh hari sejak berkas dinyatakan lengkap.

Walau demikian, sebagus dan sebaik apa pun bahasa yang digunakan dalam sebuah naskah kebijakan, tetap tidak berarti jika hanya berada pada tataran naskah saja. Perlu implementasi yang jelas, dan layaknya sebuah undang-undang maka diperlukan kelengkapan yang harus segera dirapikan dan dirampungan untuk menjalankan undang-undang tersebut secara teknis.

Ke depan semoga tidak ada lagi suara-suara sumbang yang selalu mempertanyakan kinerja pelayan publik sebagai aparatur pemerintah yang dinilai tidak maksimal. Tidak ada lagi ketidakjelasan wewenang yang dimiliki aparat. Dalam tatanan organisasi, wewenang seharusnya hanya diberikan pada porsi yang relatif terbatas sesuai dengan cakupan tugas seorang pegawai. Namun dalam praktiknya, wewenang yang terbatas itu seringkali direcoki oleh pihak pemberi wewenang, dalam hirarki birokrasi yang lebih tinggi.

Dalam situasi demikian, maka aparat, terutama yang berada pada tingkat manajerial menengah, akan kagok dalam melaksanakan tugas, yang pada gilirannya akan mengakibatkan menyusutnya sense of responsibility. Menyusutnya rasa tanggung jawab terhadap tugas yang diberikan inilah yang diduga menjadi pangkal tolak kurang sigapnya aparat birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Kebijakan pemerintah tentang Pelayanan Publik telah hadir, tentunya harus direspons oleh semua pihak, karena kebijakan tersebut dapat memberikan ruang publik yang positif, sehingga bisa diketahui, seberapa besar tingkat capaian kinerja instansi publik termasuk di dalamnya aparaturnya, serta seberapa besar tingkat partisipasi publik untuk memberikan feedback-nya terhadap kondisi yang terjadi berupa daya respon yang cerdas agar terpelihara pelayanan publik yang diharapkan dan optimal. **

Perangi Narkoba Menuju Indonesia SEHAT

Publikasi di SUARA KARYA, edisi 1 Juli 2009

Oleh : Prakoso Bhairawa Putera S

Duta Bahasa Nasional, Peneliti LIPI, Jakarta

MUNGKIN sudah terlalu sering kita mendengar atau membaca dari pelbagai sumber mengenai narkotika, alkohol dan zat adiktif lainnya (NAZA). Meski demikian hal ini harus menjadi perhatian bersama untuk mempersempit ruang penyebarannya ditengah peliknya kehidupan berbangsa dan bernegara.

Penyebaran NAZA, terlebih narkotika di Indonesia setiap tahunnya cendrung mengalami peningkatan. Awal tahun delapan puluhan jaringan narkoba di Indonesia masuk dalam jaringan terbesar di Asia Tenggara. Dengan perangkat perundang-undangan yang relatif tidak tegas (saat itu) bagi pengedar ataupun pemakai meyebabkan kita dijadikan kawasan potensial peredaran sindikat narkoba dunia. Entah berapa banyak kasus tercatat di kepolisian Indonesia yang tak jarang warga negara asing tercatat dalam buku hitam kepolisian. Ini membuktikan bahwa Indonesia benar-benar telah disusupi sindikat pengedar internasional. Dan target market mereka adalah remaja dan anak-anak.

Tingginya kasus penyalahgunaan narkoba di negeri ini secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh pada bertambahnya jumlah pengguna baru.Sebuah penelitian di tiga kota besar memperlihatkan 88% pemakai narkoba melalui jarum suntik menggunakan jarum tidak steril secara bergantian, namun hanya kurang dari sepertiga dari mereka yang menyadari bahwa dirinya berisiko untuk menularkan dan tertular HIV. Di Jakarta, satu dari dua pecandu narkoba terinfeksi HIV, sementara di Pontianak, Kalimantan Barat, lebih dari 70% pecandu narkoba sintik yang dites HIV ternyata menunjukkan hasil positif.

Mayoritas pengguna narkotika berada dalam usia produktif dan aktif seksual (15-49 tahun). Dengan banyaknya jumlah penduduk Indonesia yang terjangkit penyalahgunaan narkoba, maka negara pun turut dirugikan dalam segi finansial. Berdasarkan referensi, bila satu persen penduduk Indonesia terjangkit penyalahgunaan narkoba, maka setidaknya terdapat 2,2 juta pecandu.

Ini berarti negara harus mengeluarkan dana penanggulangan masalah narkoba sebesar Rp 66 triliun per enam bulan. Jumlah ini akan semakin meningkat, karena data dari Badan Narkotika Nasional (BNN) menyebutkan jumlah penyalahgunaan narkoba di Indonesia telah mencapai 3,3 persen dari total penduduk.

Para ahli di bidang ini acapkali mengingatkan kita agar menghindari penyakit sosial yang telah banyak merenggut korban akibat over dosis (OD). Peran lingkungan dan teman sepermainan sangat menentukan. Narkoba memiliki efek yang buruk bagi tubuh, dan efek ini berbeda antara orang satu dengan yang lainnya. Efek langsung seperti kesenangan yang hebat, merasa sehat, berkurang rasa sakit, lapar dan nafsu bersetubuh. Pecandu juga rawan tertular virus hepatitis C dan AIDS melalui jarum suntik yang tidak steril. Kejadian infeksi virus hepatitis C pada pengguna narkotika lewat suntikan, dilaporkan mencapai 80,2 persen di Jakarta. Infeksi itu akan berkembang menjadi hepatitis C kronik pada 60-80 persen di antaranya. Sepuluh sampai 20 persen penderita hepatitis kronik akan mengalami sirosis hati dalam kurun waktu sepuluh tahun. Bahkan, sebanyak 20-30 persen pasien narkoba yang dirawat di Jakarta dinyatakan positif menghidap HIV.

Hambatan utama pemberantasan peredaran selalu mengalami jalan buntu, pemerintah acapkali dibenturkan dengan berbagai permasalahan yang ada. Sebenarnya kunci pemberantasan bukan berada pada pemerintah saja, tetapi semua komponen di republik ini. Pemerintah wajib memberikan perangkat hukum yang lebih keras dan bila perlu ’mematikan’ bagi para sindikat yang terlibat di dalamnya, baik itu pengguna, pengedar maupun produsernya.

Kunci lain yang bisa dilakukan adalah memperbanyak kegiatan-kegiatan yang melibatkan remaja di dalamnya, dan tanpa henti-hentinya menyuarakan ’say no to drugs’, klasik tetapi patut untuk disuarakan. Memperketat pengawasan terhadap anak-anak sekolah dari tingkat yang paling rendah (Sekolah Dasar) hingga Perguruan Tinggi. Selain itu yang tak kalah pentingnya adalah kehangat keluarga. Keluarga merupakan komunitas pertama yang akan membentuk seseorang menjadi jiwa yang sehat, dengan kehangatan keluarga melalui komunikasi yang harmonis antar anggota di dalamnya bisa memperkuat hubungan dan kemantapan hati. Kemampuan orang tua dalam melihat perubahan yang terjadi pada anak-anaknya sangatlah penting sebagai langkah awal. Ketidakpahaman orang tua akan dunia kaum muda dan tantangan yang mereka hadapi di sekolah atau kampus, akan membuat orangtua tidak dapat menangkap gejala-gejala dini.

Anak-anak akan membutuhkan pendidikan dari ayah dan ibunya untuk menjadi anak yang mampu bersikap tegas. Keluarga yang cenderung menekan anak sehingga ia berkembang menjadi anak yang kodependen, akan mempersulit sang anak mengatakan tidak pada saay ia perlu mengatakan tidak dan saat ia perlu menciptakan batasan(boundary). Anak-anak kodependen sering sulit menolak ajakan teman. Ini juga yang akan mempersulit mereka menolak ajakan teman untuk memakai narkoba dan menolak ajakan berhubungan seks. Rasa tak percaya diri, rasa sungkan, membuat mereka lebih baik menekan perasaan dan tutup mulut.

Atas dasar hal ini, anak-anak perlu diberdayakan dengan membuatnya bebas berekspresi, sehingga setiap ada masalah ia siap berdialog dengan orang tuanya kapan saja. Di sinilah pentingnya peran orang tua, bahwa kampanye ’say no to drugs’ tatkan berhasil bila lingkungan keluarga dan sosial si anak tidak mendukung. Ini terkait dengan perkembangan mental dan emosional anak serta informasi yang mereka dapatkan dari orang tuanya mengenai realitas kehidupan sehingga ada antisipasi dari mereka menemui sejumlah masalah, termasuk Narkoba, lalu HIV.

Bila anak terkena masalah, sangat penting bagi orang tua dan keluarga mengambil tindakan, tetapi bila hanya rasa malu atau keinginan menjaga nama baik keluarga menjadi tidak membantu. Inilah persoalan khusus yang mengkhawatirkan bila terjadi pada anak. Selagi dini, masih ada jalan untuk memperbaiki setiap kerusakan dan permasalahan yang terjadi. Beri kesempatan kepada anak untuk berekspresi dan menunjukkan bakat dan kemampuan mereka, karena setiap jiwa yang terlahir telah diberikan keistimewahan. Keistimewahan itulah yang kemudian tumbuh menjadi minat dan bila diteruskan bisa menjadi prestasi yang membanggakan bersama. Hidup dengan kehangatan keluarga, cinta dan penuh kasih sayang merupakan dambaan setiap orang. Lalu kenapa itu tidak kita wujudkan pada keluarga kita? Sekali lagi, mari kobarkan bendera perang terhadap narkoba agar Kehangatan – Cinta – Kasih Sayang dapat terwujud mulai dari lingkungan keluarga hingga negara tercinta ini.