Selasa, 27 Oktober 2009

PENGUATAN IPTEK NASIONAL

Oleh Prakoso Bhairawa Putera

Suatu kebijakan merupakan rencana tindakan yang sengaja dibuat untuk memandu keputusan dan mencapai tujuan-tujuan secara rasional. William Jenkins dalam Policy Analysis: A Political and Organizational Perspektive (1978) menyatakan, kebijakan adalah satu set keputusan yang saling berhubungan yang dilakukan oleh seorang aktor politik atau sekelompok aktor mempertimbangkan pemilihan dari tujuan dan cara untuk mencapainya dalam situasi tertentu di mana keputusan tersebut harus, secara prinsip, ada dalam lingkup kekuasaan yang dapat dicapai oleh aktor-aktor tersebut.

Di beberapa negara industri baru, sektor yang dikedepankan untuk mempercepat pembangunan sekaligus sebagai sektor strategis yang mendorong perekonomian nasional adalah iptek. Iptek haruslah dilihat dalam pengertian luas mencakup ilmu-ilmu pengetahuan alam, ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan, teknologi, manajemen, serta seni dan desain. Hal tersebut merupakan faktor pendorong yang sangat vital dalam pembangunan dan pemandirian bangsa. Ketika arah pengembangan iptek dapat diselaraskan dengan arah-arah kegiatan pembangunan di berbagai sektor, performa proses pembangunan lebih efektif dan capaian pembangunan (output, outcome, dan dampak) terjamin sustainabilitasnya. Sebaliknya, ketika kegiatan pembangunan tidak ditopang iptek, dapat terjadi gejala pembangunan berbiaya tinggi, kebergantungan pada bantuan iptek luar negeri, dan tidak berkelanjutan.

Perkembangan iptek sangat bergantung pada bagaimana kebijakan iptek di suatu negara berkorelasi dengan kebijakan-kebijakan pembangunan di berbagai sektor. Kebijakan iptek di negara-negara maju di abad ke-19/awal abad ke-20, menjadi bagian penting dari kebijakan pertahanan, tetapi tidak banyak berkaitan dengan kebijakan sosial ekonomi. Di era Perang Dunia I dan II, riset fundamental (seperti fisika energi tinggi dan fisika nuklir), bidang-bidang teknologi cutting-edge (seperti teknologi kedirgantaraan, teknologi komputasi massif, dan rekayasa genetika) menjadi prioritas pengembangan iptek di negara maju seperti Amerika Serikat, Uni Soviet, negara-negara Eropa, dan Cina, untuk kepentingan pertahanan.

Pada negara-negara industri baru (seperti Jepang, Taiwan, Korea Selatan, dan Singapura), kebijakan iptek berkembang dengan penekanan pada riset-riset industrial untuk tujuan alih teknologi dan peningkatan ekpor berbasis teknologi tinggi. Meskipun memberi dampak ekonomi (pada PDB) yang berarti, kebijakan iptek ini kurang memperhatikan pertumbuhan kapasitas riset bangsa secara keseluruhan. Dampak keterbatasan ini menjadi signifikan di era krisis Asia di periode 1990-an.

Kebijakan iptek nasional yang terintegrasi dalam bingkai kebijakan pembangunan secara utuh sangat diperlukan dalam usaha mengentaskan bangsa Indonesia dari "krisis". Sejak munculnya Kebijakan Strategis (Jakstra) Pembangunan Nasional Iptek yang disusun dengan maksud agar dapat memberikan panduan bagi segenap bangsa Indonesia untuk meningkatkan keterpaduan langkah pemanfaatan, pengembangan, dan penguasaan iptek dalam mendukung pembangunan nasional dan pencapaian peningkatan daya saing bangsa.

Jakstra mengarahkan pembangunan iptek pada dua dimensi yang saling terkait. Pertama, mendayagunakan iptek untuk mendukung upaya-upaya pembangunan nasional secara berkelanjutan. Kedua, pembangunan pada peningkatan kemampuan penguasaan iptek dalam mencapai kesejajaran dengan negara-negara yang lebih maju. Pada dimensi pertama, iptek diletakkan sebagai sarana pembangunan (science and technology for development). Sedangkan pada dimensi kedua, iptek merupakan sasaran pembangunan (development of science and technology). Keefektifan pendayagunaan iptek untuk mendukung pembangunan nasional bergantung pada tingkat akumulasi kemampuan iptek. Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi memungkinkan bertambahnya sumber daya yang bisa dialokasikan untuk memperdalam penguasaan iptek.

Pemaduan dua dimensi tersebut ditumpukan pada suatu Sistem Inovasi Nasional (SIN). SIN merupakan landasan pemikiran yang menyeluruh untuk pembangunan iptek yang mencakup pilar-pilar utama seperti SDM, teknologi, dan modal. Pembangunan berbasis SIN bertumpu sekaligus pada simpul-simpul SIN, seperti sektor produksi, lembaga litbang nasional, perguruan tinggi, dan pada interaksi yang harmonis antara simpul-simpul tersebut. Fokus utama dalam interaksi itu adalah kegiatan-kegiatan seperti adopsi dan adaptasi teknologi baru, inovasi, dan difusi teknologi, perekaan, serta penemuan baru. Kesemuanya diarahkan untuk menjadikan iptek sebagai tiang utama dalam menumbuhkan daya saing industri dan masyarakat secara keseluruhan.

Untuk menopang penguatan pelaksanaan SIN di Indonesia, mau tidak mau penguatan kebijakan berpihak dan dapat mengakomodasi kepentingan iptek. Tataran penguatan kebijakan dapat diarahkan setidaknya pada enam fokus, yaitu fokus penelitian terarah pada kegiatan ekonomi dan iptek peningkatan daya saing, penyediaan jumlah SDM litbang yang memadai, task approach dan priority approach, peningkatan kualitas prasarana dan sarana penelitian, penguatan sikap peneliti yang profesional, serta membangun partisipasi, kesadaran masyarakat -- budaya iptek.

Layaknya rumah, Indonesia adalah satu kesatuan dan iptek merupakan bangunan tempat menjadi naungan Indonesia. Supaya bisa terlihat diperlukan kokohnya satu kesatuan utuh. Enam komponen tersebut saling membentuk dalam satu bangunan kokoh layaknya rumah.

Iptek merupakan satu investasi yang tidak bisa secara langsung dan dalam waktu cepat bisa dinikmati, tetapi butuh proses yang cukup panjang dan terus dikawal keberadaannya. Seperti Jepang yang baru pada awal periode 2000-an ini muncul setelah sekian lama melakukan investasi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kini giliran kita (Indonesia) untuk berusaha sekuat tenaga meningkatkan keadaan iptek yang ada dan terus mengawalnya. ***

Penulis, Peneliti Muda Kebijakan dan Perkembangan Iptek,
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta

Sumber: Pikiran Rakyat, edisi 24 Oktober 2009

PENTINGNYA PENDIDIKAN KESIAPSIAGAAN BENCANA

Oleh Prakoso Bhairawa Putera S.

KESIAPSIAGAAN atau tanggap bencana menjadi penting di saat kondisi bangsa Indonesia semakin rawan akan bencana. Bencana bukan hanya dilihat dari perspektif dampak dari alam, tetapi lebih dari itu.

Hoesada (2006), mendefinisikan bencana sebagai interupsi signifikan terhadap kesinambungan kegiatan operasi sehari-hari yang bersifat normal dan berkesinambungan bagi suatu entitas, yang berpengaruh kepada anggota dalam entitas, pemasok entitas, pelanggan entitas, dan berbagai pemangku kepentingan yang lain. Sebagai sebuah interupsi signifikan, bencana biasanya ditimbulkan dari fenomena alam, akibat kelalaian manusia, dan juga kejahatan.

Kesiapsiagaan

Akhir-akhir ini, bangsa Indonesia menghadapi berbagai macam bencana yang datang silih berganti. Minimnya pengetahuan masyarakat akan kebencanaan, menyebabkan risiko bencana di Indonesia menjadi semakin tinggi. Kondisi ini menuntut untuk tanggap terhadap bencana.

Di Jepang, penanaman sejak dini akan tanggap bencana telah dilakukan. Jepang memiliki karakteristik hampir sama dengan Indonesia dalam hal saratnya terjadi bencana. Gempa bumi, banjir, letusan gunung api, hujan salju berskala besar, hingga badai sangat sering terjadi di Jepang setiap tahunnya. Negara ini memiliki kesiapsiagaan menghadapi bencana yang amat baik dan telah melaksanakan pendidikan kesiapsiagaan bencana. Langkah ini merupakan suatu aktivitas yang dilakukan mulai dari yang sederhana hingga terintegrasi dan bagian tidak terpisahkan dari manajemen bencana (disaster management).

Manajemen bencana dikenal memiliki siklus yang terbentuk atas empat aktivitas yaitu; mitigation, preparedness, response, dan recovery seperti yang dijelaskan oleh Heru Susetyo (2006). Walsh (2005) menyebutkan bahwa mitigation dan juga planning (perencanaan) adalah elemen utama dalam preparedness.

Pendidikan kebencanaan

Menyadari pentingnya kesadaran akan tanggap bencana membuat banyak pihak di negeri ini bukan hanya dituntut memberikan pemahaman tetapi juga selalu siap dengan kondisi bencana. Dengan kata lain, pendidikan kebencanaan menjadi penting.

Pendidikan kesiapsiagaan bencana sebagai bagian mitigasi otomatis merupakan bagian kesiapsiagaan. Penyampaian berbagai pengetahuan melalui pendidikan dapat dilakukan berupa integrasi konsep-konsep pencegahan bencana dalam kurikulum pendidikan di sekolah. Tingkat pendidikan hendaknya dimulai dari pendidikan di sekolah dasar, menengah, hingga tinggi. Pemberian materi kesiapsiagaan bencana dapat terintegral dengan mata pelajaran di sekolah, atau juga dapat dengan penambahan mata pelajaran khusus dalam muatan lokal. Pelaksanaan ini membutuhkan komitmen dan kebijakan secara nasional yang dilakukan departemen terkait terutama Departemen Pendidikan Nasional.

Sebelum adanya kebijakan tentang pendidikan kebencanaan, bisa juga melaksanakan pelatihan untuk siswa, guru, ataupun karyawan. Materi pelatihan diarahkan untuk peningkatan ketrampilan menghadapi bencana ataupun perencanaan menghadapi bencana. Untuk masyarakat umum, penyebaran pengetahuan kebencanaan dapat berupa penyuluhan interaktif yang dilakukan secara reguler ataupun melaksanakan latihan pencegahan bencana secara rutin yang melibatkan unsur masyarakat umum, lembaga swadaya masyarakat, pemerintah, lembaga kesehatan-pemadam kebakaran, palang merah, angkatan bersenjata, hingga pekerja kantor dan para profesional.

Jepang sudah melaksanakan metode pendidikan kesiapsiagaan terhadap bencana sejak 1971. Hampir di setiap kota besar dan prefectures di Jepang terdapat pusat pelatihan pencegahan bencana. Pusat pelatihan ini menyediakan latihan dan simulasi secara gratis kepada setiap warga negara maupun pengunjung. Simulasi yang disediakan meliputi simulasi gempa bumi (jishin), simulasi badai (taihu), pemadaman api menggunakan fire extinguisher, penyelamatan ketika kebakaran, permainan mengendarai helikopter untuk mengevakuasi korban bencana, dan lainnya.

Pelajar setingkat shogakko (sekolah dasar) berkewajiban untuk mendatangi, mengenal, dan mengikuti simulasi pencegahan bencana di pusat pencegahan bencana terdekat. Semua diintegrasikan dengan kurikulum belajar.

Melihat kondisi di Indonesia maka untuk melaksanakan dan menerapkan atau juga mengadopsi pendidikan kesiapsiagaan bencana diperlukan komitmen secara nasional dan tegas dari pemerintah dalam bentuk kebijakan pendidikan kebencanaan. Kesinambungan program bukan hanya setelah terjadi bencana, yang lebih perlu diperhatikan adalah penyebaran pengetahuan melalui pendidikan dan pelatihan jangan dipusatkan di pulau Jawa ataupun di kota saja, tetapi di seluruh wilayah NKRI karena bencana bisa terjadi dimana saja. Akhirnya komitmen-kontinyu-menyeluruh adalah kunci keberhasilan penyelenggaraan pendidikan kesiapsiagaan bencana.***

Penulis, Peneliti Muda Kebijakan dan Perkembangan Iptek – LIPI, Jakarta.

Sumber : Pikiran Rakyat, edisi 08 Oktober 2009