Senin, 14 September 2009

Pengembangan Daerah Berbasis Kemandirian

Pembangunan yang dilakukan negara-negara berkembang secara umum merupakan suatu proses kegiatan yang direncanakan dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi, perubahan sosial dan modernisasi bangsa untuk mencapai peningkatan kualitas hidup manusia dan kesejahteraan rakyat (diadaptasi dari Agus Suryono: 2001).

Bertitik tolak dengan hal tersebut maka pembangunan dimaknai sebagai proses perubahan sosial menuju ketataran kehidupan masyarakat yang lebih baik; selain itu juga pembangunan dapat dikatakan sebagai upaya manusia yang sadar, terencana dan melembaga; Sebagai proses sosial yang bebas nilai (value free); Memperoleh sifat dan konsep transendental, sebagai meta-diciplinary phenomenon, bahkan memperoleh bentuk sebagai ideologi (the idology of develommentalism); Sebagai konsep yang sarat nilai (value loaded), menyangkut proses pencapaian nilai yang dianut suatu bangsa secara makin meningkat; Pembangunan menjadi culture specific, situation specific dan time specific (Tjokrowinoto : 1987)

Pembangunan seharusnya merupakan suatu proses yang saling terkait antara proses pertumbuhan ekonomi, perubahan sosial dan demokrasi politik yang terjadi dalam lingkaran sebab akibat kumulatif (circular cumulative causation) (Myrdal, 1956, dari Agus Suryono, 2001)
Dalam pelaksanaan pembangunan di negara-negara berkembang tidak terlepas pula dari teori-teori pembangunan yang dipergunakan sebagai acuan dalam perencanaan, pelaksanaan maupun menilai dan mengukur kinerjanya. Teori pembangunan yang diterapkan adalah teori pembangunan yang berusaha memecahkan masalah yang dihadapi oleh negara-negara yang sedang berkembang yang tentunya berbeda dengan teori pembangunan di negara yang telah maju, karena berbagai faktor yang mempengaruhi, salah satunya misalnya untuk negara miskin (sedang berkembang) menghadapi persoalan bagaimana mempertahankan hidup (survival) sedangkan di negara yang sudah maju (adi kuasa) yang telah mencapai kemapanan sosial ekonominya (establish) persoalan yang dipikirkan adalah bagaimana mengembangkan politik prestisenya atau bahkan bagaimana benar-benar menjadi “polisi dunia” dalam semua aspek kehidupan baik politik, ekonomi, sosial budaya, ilmu pengetahuan, teknologi, maupun militer dari bangsa-bangsa di dunia (diadaptasi dari Agus Suryono: 2001).

Krisis ekonomi 1998 ditenggarai merusak sendi-sendi perekonomian nasional, ditandai dengan hancurnya kepercayaan terhadap perbankan Indonesia yang disebabkan penarikan dana secara besar-besaran oleh deposan yang kemudian diikuti pelarian modal ke luar negeri. Pada kondisi ini beberapa perusahaan nasional mengalami bangkrut akibat hutang yang semakin bertambah. Hampir semua kegiatan usaha mengalami kemandegkan, karena tingkat suku bunga mencapai 70%. Belum lagi ditambah permasalahan naiknya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika yang mencapai 500% (Kompas, 8 September 2004).

Akibat pelarian modal keluar negeri, cadangan devisa negara menyusut secara drastis. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negar mengalami defisit yang besar dan tidak mungkin dibiayai oleh kemampuan sendiri, karena hurang negara dan obligasi semakin membengkak. Hilangnya kepercayaan membuat harga saham di pasar modal turun tajam, sehingga menimbulkan kerugian besar masyarakat dan inverstor.

Pengangguran melonjak karena angkatan kerja semakin bertambah, sedangkan ekonomi nasional mengalami kebekuan. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal tidak dapat dihindari. Tetapi dibalik permasalahn tersebut, justru sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah UMKM) lah yang dapat bertahan. Berkat keuletan dan kemampuannya, UMKM telah membantu perekonomian bangsa baik di masa krisis maupun di masa pemulihan perekonomian Indonesia.
Menurut R. Maulana Ibrahim, ada empat aspek peranan yang dimiliki UMKM saat itu. Pertama, jumlah industrinya yang besar yaitu mencapai 42,3 juta unit usaha atau 90,9% dari total unit usaha dan terdapat dalam setiap sektor ekonomi (BPS, 2003). Kedua, potensinya yang sangat besar dalam penyerapan tenaga kerja yang mencapai 78,0 juta tenaga kerja atau 99,4% dari total angkatan kerja. Ketiga, kontribusi UMKM dalam pembentukkan PDB cukup signifikan yakni sebesar 56,7% dari total PDB. Keempat, memiliki sumbangan kepada devisa negara dengan nilai ekspor mencapai Rp 75,8 triliun atau 19,9% dari total nilai ekspor Indonesia.

Menyimak besarnya potensi tersebut, sektor usaha mikro telah mendudukan dirinya dalam posisi dan peran yang sangat strategis dalam perekonomian Indonesia. Ternyata peranan usaha mikro semakin dituntut untuk bisa menopang perekonomian daerah, dimana dengan pemberlakuan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, yang kemudian direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004 memberikan ruang bagi usaha ini untuk bisa menjadi salah satu ujung tombak sumber pendapatan bagi daerah. Namun walau demikian, keberhasilan untuk bertahan dalam masa krisis tidak serta merta menjadikan sektor ini mampu berkembang dengan baik. Banyak faktor yang mempengaruhi lambannya perkembangan usaha tersebut, antara lain perhatian dari pemerintah dan kalangan perbankan yang dirasakan masih kurang terutama dalam upaya pembiayaan, pengembangan, dan juga pendanaan kepada sektor ini.

Seiring perjalanan, ternyata kehadiran pemerintahan yang semakin berpihak kepada sektor Mikro untuk dapat mengatasi kemiskinan dan pengangguran terlebih untuk daerah-daerah pemekaran. Melihat hal ini semua, mau tidak mau pemberdayaan usaha mikro untuk menopang pembangunan daerah harus menjadi hal yang utama untuk dilakukan.

Permasalahan yang Timbul

Sesuai dengan kebijakan pemerintah untuk memberdayakan sektor usaha mikro agar menjadi lebih efisien, produktif dan berdaya saing menjadi sangat penting, terutama dalam usaha peningkatan kesejahteraan masyarakat daerah-daerah pemekaran (baru). Ternyata di satu sisi masih mempunyai permasalahan yang signifikan.

Permasalahan tersebut terdapat pada kendala-kendala bagi usaha mikro dalam pertumbuhan dan perkembangannya menuju usaha yang lebih besar, maju, dan mampu berkompetisi di pasar global, yaitu.

Pertama, dari Aspek Permodalan Usaha, termasuk diantaranya; modal dari pihak luar (bank) sangat kecil. Hal ini berkaitan dengan persyaratan untuk memperoleh modal sulit dipenuhi oleh pengusaha yang kebanyakan bergerak di sektor informal, tingkat pengembalian pinjaman relatif rendah dan terbatasnya kemampuan untuk menghimpun dana dengan kemampuan sendiri. Permasalah ini lebih disebabkan masih adanya persepsi keliru dari pihak pemberi dana, yang menganggap Usaha Mikro sebagai debitur yang “merepotkan”, berisiko tinggi dan kurang menguntungkan serta menimbulkan biaya overhead yang cukup besar untuk melayaninya. Persepsi ini timbul karena terbatasnya pemahaman pada sebagian besar bank mengenai karakteristik Usaha Mikro. Selain itu, orientasi bank selama ini yang terfokus kepada segmen korporat yang berakibat pada minimnya Sumberdaya Manusia yang kompeten dalam menangani debitur Usaha Mikro. Di sisi lain, jaringan kantor bank juga masih terbatas baik dalam jumlah maupun penyebarannya sehingga sulit menjangkau sentra-sentra pengusaha mikro di pelosok daerah.

Aspek kedua adalah menyangkut Pemasaran dan Distribusi Produk. Sistem pengelolaan yang masih sederhana, masih tergantung figure dari pada sistem manajerial yang baik, jika ada peluang besar kemampuan untuk mengisi terbatas, belum dimanfaatkannya teknologi informasi dalam pemasaran.

Ketiga adalah Aspek Sumberdaya Manusia sendiri, yang mencakup diantaranya kualitas sumberdaya manusia yang masih sangat rendah, tingkat profesional yang masih rendah, belum menggunakan teknologi informasi secara maksimal, belum dimanfaatkannya bentuk kerjasama seperti: korporasi, perusahaan terbatas secara intensif. Dengan adanya keterbatasan kemampuan sumberdaya manusia inilah yang menyebabkan perbankan sulit menyelesaikan persyaratan administratif. Pada dunia perbankan untuk dapat mengakses kredit, usaha mikro harus mempunyai pembukuan yang jelas sehingga perbankan dapat dengan jelas mengetahui informasi mengenai usaha dan prospeknya. Tetapi pada umumnya hal ini tidak dimiliki oleh usaha mikro.

Mengingat proposi perannya yang begitu besar dan menyangkut banyak tenaga kerja yang terlibat dalam usaha tersebut, oleh karena itu pemerintah berusaha mencarai best pratices pengembangan dan penyelenggaraan lembaga dan sistem pembiayaan usaha mikro yang dikembangkan melalui berbagai pendekatan.

Pemberdayaan Usaha Mikro

Pemberdayaan adalah kata yang mulai dikenal pada tahun 1970-an dan lebih terkenal lagi di era 1990-an. Kata itu terus bergema baik di surat kabar, pada diskusi atau seminar mengenai pembangunan. Pemberdayaan jika ditelaah dari tujuannya berusaha untuk membuat seseorang atau kelompok menjadi lebih mengetahui potensi dan kendala yang dimiliki kemudian menjadikan sebagai dasar tindakan atau aksi memperbaiki hidup.

Pemberdayaan merupakan sebuah konsep dimana adanya kemampuan untuk menganalisis permasalahan dan potensi serta diimplementasikan dalam rangka memperbaiki hidup. Pemberdayaan akan mengakibatkan proses perubahan sosial yang memungkinkan suatu kondisi menjadi lebih berdaya dalam menjalani hidupnya. Di sini masyarakat yang diberdayakan jadi paham betul mengenai kondisi lingkungan sekitarnya dan dirinya sendiri. Mereka bertindak dalam rangka untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dengan menyadari terlebih dahulu kekuatan yang ada pada diri dan lingkungannya.

Dengan memperhatikan indikasi permasalahan, maka perbaikan sektor usaha mikro pada dasarnya bertujuan untuk penataan peranan usaha mikro pada kondisi yang memungkinkan sehingga dapat menyangga sistem kehidupan secara seimbang, dinamis dan berkelanjutan (sustainable), terutama bagi pembangunan daerah.

Pembinaan dan pengembangan sektor usaha mikro untuk konteks waktu sekarang ini dituntut untuk lebih transparasi, akuntabilitas, dan networking sehingga kontrol masyarakat semakin ketat.

Dalam Bidang Pemberdayaan Usaha Kecil, Menengah dan Koperasi Pertama, peningkatan nilai tukar petani yang dapat memberi insentif bagi kegiatan pertanian, khususnya dalam produksi pangan, agar tingkat kesejahteraan petani dapat diperbaiki secara luas dan terjadi peningkatan produksi secara berarti untuk mengurangi tingkat ketergantungan kepada impor pangan dari luar negeri. Erat kaitannya dengan kebijaksanaan ini pemerintah juga menjamin harga dasar pendapatan petani, khususnya para petani penghasil padi.

Kedua, dalam rangka menciptakan mekanisme pasar yang dapat menciptakan efisiensi alokasi sumber daya ekonomi, pemerintah telah mendorong agar usaha kecil, menengah dan koperasi dapat lebih terlibat di dalam sistem distribusi nasional. Upaya ini dimaksudkan pula agar penentuan harga secara secara sepihakoleh pelaku ekonomi besar, yang dapat menciptakan ekonomi biaya tinggi, dapat dihindarkan.

Upaya ini telah membuahkan hasil, dengan terjadinya penurunan secara berarti berbagai harga kebutuhan pokok, sehingga dalam tiga bulan terakhir tahun 1998 inflasi dapat ditekan secara berarti.

Ketiga, memberikan pelayanan secara lebih mudah dan sederhana, namun dengan tetap mempertimbangkan kaidah penyaluran kredit secara sehat kepada sektor usaha kecil, menengah dan koperasi. Kebijakan ini penting artinya agar pengangguran terbuka dapat diatasi dengan peningkatan tingkat penyerapan kesempatan kerja disekor usaha kecil, tatkala banyak usaha besar ini masih memerlukan waktu untuk dapat bangkit kembali. Kebijakan ini juga penting sebagai bagian dari upaya untuk pengentasan kemiskinan secara berkelanjutan.

Keempat, mendorong berbagai usaha yang berbasis pada sumber daya alam Indonesia –khususnya yang berorientasi ekspor—agar kelompok usaha ini dapat berkembang seiring dengan upaya peningkatan peranan usaha kecil, menengah dan koperasi secara langsung, maupun melalui program kemitraan dengan usaha besar. Erat kaitannya dengan kebijaksanaan ini adalah upaya untuk melaksanakan pemerataan kesempatan berusaha, peningkatan nilai tambah melalui pengembangan industri pengolahan, serta memperluas jangkauan untuk pemasaran internasional.

Selanjutnya, upaya untuk mendorong pengembangan Usaha Kecil, Menengah, dan Koperasi (UKMK) yang mempunyai peran yang signifikan dalam menggerakkan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja tetap menjadi prioritas. Aktivitas ekonomi UKMK yang berjumlah sekitar 41,4 juta unit (99,9 persen dari total jumlah usaha secara nasional) pada tahun 2002 merupakan wujud partisipasi bagian terbesar masyarakat dalam peningkatan kesejahteraan nasional. Di samping itu, sampai dengan akhir tahun 2002, UKMK mampu menyerap 99,5 persen dari seluruh tenaga kerja nasional yang bekerja, meliputi 88,7 persen di usaha kecil dan 10,8 persen di usaha menengah.

Kontribusi UKMK terhadap pembentukan produk domestik bruto (PDB) non-migas pada tahun 2002 mencapai 63,9 persen. Produktivitas UKM meningkat namun masih terdapat kesenjangan produktivitas yang lebar antara UKM dan usaha besar. Apabila diukur berdasarkan perbandingan antara nilai tambah (PDB) non-migas dengan jumlah unit UKM, produktivitas per unit usaha untuk usaha kecil dan usaha menengah masing-masing mencapai Rp16,0 juta dan Rp4,0 milyar sedangkan untuk usaha besar mencapai Rp233,6 milyar.

Upaya penciptaan iklim yang kondusif bagi UKMK pada tahun 2002 sudah menunjukkan kemajuan dibandingkan dengan tahun 2001. Beberapa daerah sudah berupaya menyederhanakan perijinan melalui pengembangan One-Stop Service (pelayanan terpadu) dan merevisi peraturan-peraturan yang menghambat sekaligus berusaha mengurangi dampak negatif yang mungkin ditimbulkannya. Namun masih banyak daerah lain yang menganggap UKMK sebagai sumber pendapatan asli daerah dengan mengenakan pungutan-pungutan baru bagi UKMK sehingga biaya transaksi UKMK meningkat. Di tingkat nasional, upaya memperkuat landasan hukum bagi UKMK dilakukan dengan penyusunan RUU Usaha Mikro, Kecil dan Menengah untuk mengganti UU No. 9 Tahun 95 tentang Usaha Kecil dan Inpres No. 10 Tahun 99 tentang Usaha Menengah, dan dilanjutkannya penyelesaian RUU tentang Koperasi sebagai perubahan terhadap UU No. 25 Tahun 92. Upaya-upaya penyempurnaan iklim usaha tersebut dilanjutkan dalam tahun 2003 dan perlu semakin ditingkatkan dalam tahun 2004.

Beberapa upaya dalam rangka peningkatan akses UKMK terhadap sumberdaya produktif pada tahun 2002 juga menunjukkan perkembangan yang positif. Pada pertengahan tahun 2002 telah dimulai upaya pengembangan sistem informasi kredit dan biro kredit, serta fasilitasi penyelesaian hutang UKM melalui penerbitan Keppres No. 56 Tahun 2002 tentang Restrukturisasi Kredit UKM. Selain itu, tercatat peningkatan kapasitas perbankan dalam penyaluran kredit kepada UKM, serta peningkatan fasilitasi pembiayaan dari pemerintah dalam bentuk dana bergulir, dan penjaminan kredit bagi 494 UKMK di 17 propinsi. Namun demikian, masih dibutuhkan adanya pemantauan dan evaluasi yang lebih baik terhadap pelaksanaan Keppres Nomor 56/2002, partisipasi perbankan dalam penyaluran kredit, dan pengelolaan dana bergulir sehingga tepat sasaran, transparan dan bertanggung-gugat. Selanjutnya berkenaan dengan Surat Utang Pemerintah (SUP) Nomor SU-005/MK/1999, telah disalurkan sebesar Rp850 milyar bagi pendanaan KKPA-TR dan Kkop-Pangan dari dana SUP yang tersedia sebesar Rp3.097,9 milyar. Dalam rangka mendukung pendanaan kredit kepada usaha mikro dan kecil, pemanfaatan dana SUP direncanakan untuk ditingkatkan yang disertai dengan perbaikan mekanisme dan persyaratan penyalurannya dengan memperhatikan baik aspek kepentingan usaha mikro dan kecil maupun aspek kolektibilitas pengembalian kredit.

Perkembangan akses UKM terhadap sumberdaya produktif non-finansial selama tahun 2002 di antaranya ditandai dengan peningkatan ketersediaan penyedia jasa layanan pengembangan usaha (business development services-BDS) baik yang difasilitasi pemerintah (pusat dan daerah) maupun swasta; dan tumbuhnya klaster/sentra UKM di berbagai daerah. Pengembangan klaster/sentra di berbagai daerah yang diintegrasikan dengan pengembangan BDS juga terkait dengan upaya peningkatan kewirausahaan dan daya saing UKMK. Fasilitasi bagi BDS dan sentra disediakan dalam bentuk dukungan modal awal padanan (matching fund) bergulir, bantuan teknis (pendampingan dan pelatihan), dan pengembangan jaringan BDS.

Pada tahun 2002, telah dikembangkan 332 sentra UKM dan BDS di seluruh Indonesia. Sementara itu, upaya peningkatan perilaku kewirausahaan dan daya saing UKMK terus dilanjutkan dalam tahun 2002, terutama melalui fasilitasi kegiatan pelatihan, magang, serta perkuatan kebijakan dan modul/kurikulum diklat kewirausahaan, pengelolaan usaha dan perkoperasian. Permasalahan internal yang melekat pada UKMK sampai saat ini belum tuntas tertangani, seperti rendahnya kualitas sumber daya manusia dalam hal kemampuan manajemen, organisasi, teknologi, dan pemasaran; lemahnya kompetensi kewirausahaan; dan terbatasnya kapasitas UKM untuk mengakses permodalan, informasi teknologi dan pasar, serta faktor produksi lainnya. Selain itu, tantangan perdagangan bebas yang semakin besar terutama setelah pemberlakuan AFTA pada tahun 2003 membutuhkan perbaikan iklim usaha, terutama di bidang perdagangan dalam negeri dan investasi.

Melihat permasalahan dan tantangan ke depan dan percepatan transformasi struktural dan pertumbuhan ekonomi yang sekaligus menciptakan lapangan kerja, kerangka pemberdayaan UKMK tahun 2004 akan lebih diprioritaskan pada langkah-langkah untuk mempercepat pembenahan kelembagaan termasuk kebijakan dan regulasi yang bersifat lintas sektor dan lintas wilayah terutama yang merupakan disinsentif bagi UKMK, memperluas berkembangnya institusi pendukung seperti teknologi, jaringan pemasaran dan skema pembiayaan. Di samping itu, perhatian yang besar juga ditujukan untuk mengembangkan lebih lanjut UKM orientasi ekspor, UKM dengan kandungan nilai tambah tinggi terutama yang menggunakan sumberdaya alam/lokal, serta usaha menengah yang merupakan supporting industry.

Sejalan dengan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin, pengembangan usaha skala mikro secara lebih meluas dilakukan dengan meningkatkan kegiatan pelatihan, bantuan teknis, dan meningkatkan akses ke sumberdaya ekonomi termasuk pengembangan lembaga keuangan mikro (LKM). Upaya tersebut juga disertai dengan memberikan kesempatan usaha bagi kelompok masyarakat miskin dan penganggur yang memiliki keterbatasan untuk berpartisipasi dalam arus ekonomi utama, dan berwirausaha secara formal untuk mendapatkan penghasilan yang tetap. Selain itu, untuk memperkuat kedudukan LKM, saat ini sedang dipersiapkan penyusunan RUU tentang LKM.

Lebih jelasnya bentuk kebijakan dan pola pemberdayaan usaha mikro dapat dilaksanakan sebagai berikut;

Bentuk Kebijakan

1. Bentuk kebijakan keterbukaan atau tidak eksklusif.
Pemberdayaan usaha mikro tidak semata-mata didasarkan pada kondisi objektif yang ada tetapi juga harus mampu mengatasi kecenderungan dinamika global, seperti pasar bebas, globalisasi informasi dan kecenderungan otonomi daerah.

2. Bentuk kebijakan integrative dan aplikatif.
Bentuk kebijakan ini didasrkan pada pengalaman yang sudah-sudah, di mana kebijakan pembangunan usaha mikro tidak incule dalam kebijakan pembangunan secara umum, hanya merupakan efek samping dan kuratif. Dan kebijakan integeratif tersebut benar-benar dapat direalisasikan oleh usaha mikro.

3. Kebijakan yang terfokus dan terarah.
Kebijakan pemberdayaan usaha mikro harus terfokus dan terarah dan sesuai dengan visi, misi, dan sasaran usaha mikro.

Penutup

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan pembangunan daerah dengan penerapan konsep pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) didukung dengan pendekatan pembangunan manusia (human development), sebagai manifestasi paradigma pembangunan manusia (people centered development paradigm) diperlukan beberapa persyaratan yaitu :

1. Perubahan mendasar sikap dan karakter aparatur pemerintah yaitu mengembangkan kepekaan (responsiveness), bertanggungjawab (responsibility) baik objective responsibility (3 E) maupun subjective responsibility (2E & F) dan representatif (representativeness) yaitu tidak menyalahgunakan wewenang (power abuse) maupun melampaui wewenang yang dimiliki (excessive power) dalam pelaksanaan tugas;

2. Keseimbangan aktualisasi peran elemen-elemen “Trias Politica”yang berarti tidak adanya dominasi atau lemahnya salah satu elemenpun apakah eksekutif, legislatif maupun yudikatif;

3. Penerapan sistem “desentralisasi” secara proporsional yang berarti kemampuan pemerintah daerah mengembangkan potensi daerah untuk kepentingan publik.

Implikasi dan Saran

Ada tiga saran yang dapat menjadi masukan bagi pemerintah maupun bagi legalitas dan system administrasi lembaga keuangan (bank), dan bagi penyelenggaraan Usaha Mikro.

a) saran-saran yang berkaitan dengan Kebijakan Pemerintah.
- Pemerintah sebaiknya mempunyai system kelembagaan yang komperhensif yang mampu digerakkan secara bersama dengan koordinasi menteri Negara koperasi usaha kecil dan menengah.
-Perlu adanya kebijkan dalam perdagangan dan industri yang berorintasi pada ekspor dan import dengan hubungan kerja yang didukung oleh potensial usaha mikro di dalam Negara.
-Investasi asing (joint venture, transfer of technology, sub-kontrak dan bentuk lain yang sejanis) yang membawa keuntungan bagi Negara sebaiknya didorong dengan kesempatan dan perlakuan sama terhadap investasi asing seperti diatas bagi perkembangan perusahaan kecil dan menengah dalam jangka panjang.

b) saran-saran yang berkaitan dengan legalitas dan system administasi lembaga keuangan (bank)
- legalitas dan system administrasi yang berkaitan dengan usaha mikro sebaiknya ditempatkan di tiap-tiap propinsi atau kabupaten/kota sesuai dengan paradigma otonomi daerah. Hal ini dilakukan untuk mengurangi dampak sentralisasi dan panjangnya birokrasi administrasi
- Perlu adanya bank yang dapat menjangkau di mana para pelaku usaha mikro berdomisili. Hal ini terutama dapat dilakukan oleh bank pembangunan di daerah-daerah.

c) saran-saran yang berkaitan dengan implementasi penyelenggaraan Usaha Mikro.
- Untuk menjangkau masyarakat pelaku usaha mikro yang miskin, dan terbatas asset dan fasilitas yang dimiliki, pemerintah daerah perlu mengembangkan model dimana masyarakat miskin dapat memperoleh pinjaman karena mereka memperoleh rekomendasi dari guarantee offices. Rekomendasi ini dapat direalisasi melalui tokoh agama, tokoh masyarakat, dan sebagainya.
-Disamping bantuan dana, sebaiknya pemerintah juga memberikan bantuan teknis dan pembinaan moral.
-Bantuan teknis yang berbentuk program traning, kursus bantuan alat teknologi, sebaiknya tidak diberikan secara Cuma-Cuma, tetapi dengan biaya murah atau memperoleh subsidi dari pemerintah.
-Perlu adanya system pengecualiaan kewajiban membayar pajak bagi pelaku usaha mikro yang baru berdiri samapai batas waktu ditentukan oleh peratutan daerah yang ada.

Penulis adalah Peneliti Muda Kebijakan dan Perkembangan Iptek – LIPI, Jakarta

dimuat di MAJALAH TERAS, edisi September 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar