Senin, 24 Agustus 2009

MENGGAGAS MASYARAKAT KOMUNIKATIF

UNTITLED karya Dikdik Sayahdikumullah.* dok. Ahda Imran


DEWASA ini kehidupan bangsa yang majemuk mengalami krisis. Reduksi sikap toleransi dan pengertian untuk saling memahami satu sama lain telah nyata mengancam pluralisme kebangsaan. Hilangnya kesadaran untuk saling menghargai dalam ruang publik telah menyurutkan langkah konkret mewujudkan persatuan yang sinergis. Bahkan, setiap kelompok (primordialistik) menunjukkan apatisme sosial yang saling berlawanan. Ketiadaan mediasi serta solusi penyelesaian terhadap masalah ini justru akan membawa jurang perpecahan yang semakin lebar, dan akhirnya tidak jelas juntrungannya.

Perkembangan kehidupan mutakhir tersebut jelas sangat tidak menguntungkan, khususnya terkait dengan upaya perekatan sosial (social integration). Musuh bersama yang sekarang menantang di depan mata sesungguhnya ialah rintangan berupa sikap absolutisme yang akut itu. Yakni, sikap yang terus merangsang sebuah klaim kebenaran yang mutlak dan terus dipaksakan ke ruang publik sebagai kebenaran yang tunggal dan monolitik. Dalam berbagai varian kehidupan sosial, realita ini muncul sebagai penguasaan wacana publik di antara berbagai pertarungan nilai. Absolutisme dengan retorika yang menggebu-gebu, padahal sarat kosong makna, kemudian hadir seolah-olah telah menghipnotis masyarakat.

Resultan yang diperoleh pada gilirannya ialah terjadi eksklusi sosial di tengah keterbukaan ruang publik. Sebuah gejala perpecahan sekat sosial semakin runcing dengan statisme model eksklusi sosial ini. Masing-masing kelompok yang berbeda dalam keadaan ini begitu sulit untuk menerima titik temu secara dialogis dan komunikatif, sehingga meniscayakan kekerasan, baik kekerasan simbolik berupa pertarungan ruang diskursif maupun kekerasan fisik yang dipakai sebagai logika penyelesaian masalah tanpa pikir panjang. Pada urutannya, lahirlah "otoritarianisme" dalam kehidupan sosial.

Ironi pluralisme yang terkoyak tersebut jelas menjadi defisit demokrasi serta demokratisasi kehidupan bangsa. Bukan saja sikap memutlak-mutlakkan secara logis bertentangan dengan logika demokrasi, namun lebih dari itu demokratisasi gagal justru melalui ketidakmampuan publik mengembangkan inklusivisme sosial yang mengarah ke perwujudan pluralisme yang sejati. Demokrasi merupakan "balairung" dari berbagai pintu kelompok yang amat beragam. Demokrasi bukan dimainkan melalui kekuasaan oligarki yang mengusung perbedaan. Setiap kelompok yang berbeda, dalam demokrasi, mestinya bermain secara fair dan rasional dalam kontestasi yang terbuka dan dialogis-partisipatif. Keluwesan disertai strategi perekatan sosial merupakan arena demokrasi yang sejati.

Kewargaan yang beradab

Nestapa bangsa Indonesia yang dirundung krisis demi krisis, musibah demi musibah, konflik demi konflik, hingga aksi anarkistis dewasa ini harus dihentikan. Minimal ada upaya untuk mencegah noktah hitam itu terus mengotori pakaian kebangsaan kita. Sudah tidak terhitung lagi berapa banyak kerugian yang harus dibayar dengan energi yang amat melelahkan, sementara kekuatan membangun bangsa belum optimal.

Jilid-jilid penderitaan mungkin tidak disadari (lagi) telah mengoyak kesatuan bangsa. Bayangkan, selain ragawi bangsa yang terus didera konflik dan ujian, kemiskinan dan peminggiran masyarakat masih menganga lebar, ternyata jiwa bangsa juga ikut terkoyak. Lebih tepatnya, hilangnya spirit membangun jiwa bangsa yang disodorkan oleh tata laku yang beradab, tepa selira, dan kedamaian. Betapa tidak? Tak ada penyelesaian akhir kecuali banyak yang memakai logika kekerasan. Tak ada solusi dialogis kecuali dengan egoisme melalui pembenaran diri, dan yang lain dipandang berdosa, salah, atau bahkan sesat. Tak ada pemecahan yang damai kecuali dengan budaya sektarian yang memecah-belah tanpa harus menyadarinya.

Kalau ditarik benang krisis dari problem tersebut, tidak terlalu salah jika yang terjadi sejatinya ialah kekeringan spiritual berbangsa. Buana kearifan yang berpangkal pada nilai-nilai transendental dalam Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika luruh oleh penodaan-penodaan. Ada sesuatu yang hilang dari sini, yaitu darma kebajikan antarsesama untuk membangun kesatuan di tengah khazanah kemajemukan. Krisis yang amat fundamental ini mesti disadari betul sebagai kehilangan ruh yang menjadi daya penggerak kehidupan bangsa.

Ikatan sejati di tengah perbedaan melalui keadaban (genuine engagement of diversities within bonds of civility) sebagai inti sari paham kemajemukan bernama pluralisme, buktinya, masih sebatas simbol belaka. Hilangnya spirit menegakkan cita-cita persatuan dan kesatuan dengan demikian menjadi tertunda, bukan tidak menyebut terhenti. Di atas hamparan bumi nusantara yang sangat berharga ini, berapa banyak yang masih mengupayakan kebersamaan? Bukan hanya kebersamaan dalam tampilan kasar berupa kebajikan yang kasat mata, melainkan juga kebersamaan dalam satu rasa dan nurani. Sebagai akibat menyusutnya ruh spiritual itu, lihatlah betapa banyak defisit nasionalisme (lack of nationalism) merekah menghancurkan sendi-sendi kehidupan, dan reduksi keberadaban (uncivilized) dengan kekerasan membuncah melumatkan gapura serta bangunan di dalamnya. Sebagai akibatnya, tenda kebangsaan merobek, sementara upaya merendanya hanya secuil .

Menyadari hal demikian, titik balik peradaban bangsa harus diarahkan menuju masa depan yang optimis. Biarpun banyak sekali derita dan nestapa, namun projek besar membangun bangsa harus terus diamanatkan. Oleh karena itu, upaya pertama yang mesti dilakukan ialah meraih common platform membangun kembali kebangsaan melalui revitalisasi secara berkelanjutan. Titik temu kesamaan ini sangat penting sebagai titik pijak bagi tenda besar kebangsaan dan kewargaan.

Langkah konkret

Hidup di negeri yang berslogan gemah ripah loh jinawi ini sepertinya tidak mudah lagi. Menghidupi diri tidak dengan gampang layaknya menanam kayu yang kemudian tumbuh dan dapat diolah menjadi bahan makanan seperti yang sering diajarkan nenek moyang. Mencari lahan untuk tinggal pun kita harus membayar tinggi jika tidak ingin kebagian tempat di bantaran kali atau tersudut di pojok hutan sambil menunggu digugat oleh petugas dan dimintai biaya untuk administrasi tanah. Bahkan kehidupan nyaman pun tak luput dari tragedi alam hingga lantas berhadapan dengan selalu semrawutnya penanganan pemerintah yang bahkan semakin memperlambat proses bantuan yang secara tulus disalurkan.

Seperti tidak cukup dengan tragedi alam yang kerap terjadi. Persoalan korupsi dan patologi mental birokrasi dan politik lainnya terasa belum maksimal. Usaha pemberantasan selalu dihadapkan dengan budaya yang telah tumbuh dan berkembang lama; menjadi sistemik, dan membangun pola kerangka berpikir pemerintah. Melawannya – meminjam salah satu buah pikir Milan Kundera – seperti ingatan yang berjuang melawan lupa. Maka, kemiskinan struktural terjadilah. Dan seperti yang dipesankan Nabi Muhammad saw., kemiskinanlah yang membawa kita menjadi seorang kufur, yang hatinya tertutup dari cahaya kebajikan alias penuh dengan niat dan tekad kriminal.

Akan semakin panjang dan lama bila masih ingin menyusun daftar "kekurangan" Indonesia. Akan semakin variatif pula ungkapan serupa "Malu Aku Jadi Orang Indonesia"-nya Taufik Ismail atau "Bangsaku yang Menyebalkan"-nya Eep Saefulloh Fatah. Namun, ajakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono seharusnya juga menjadi sikap kita, tidak hanya bencana yang melanda, tapi kondisi Indonesia secara keseluruhan. "Hanya satu tanah airku. Ia berkembang dengan amal, dan amal itu adalah amalku," begitu ucap Muhammad Hatta yang juga lebih baik menjadi gumam kita.

Sudah selayaknya generasi muda lebih memprioritaskan kebersamaan dalam kebhinnekaan, persatuan, kesatuan, dan kreativitas membangun bangsa. Karena generasi inilah yang berkewajiban menjalankan paradigma baru bangsa dengan potensi, kreativitas, optimisme, dan sikap kebhinnekaan yang mampu menguasai diri dalam ilmu pengetahuan dan teknologi serta tidak melupakan ajaran Ilahi. Untuk semua itu, perlu adanya persatuan di antara individu-individu bangsa ini, terlebih di antara generasi mudanya.

Sebagai kaum muda, harapan bangsa, pemuda wajib membangun kembali benteng persatuan yang sempat goyah. Untuk mengupayakan hal itu harus dimulai dengan komitmen kebangsaan, idealisme yang kuat akan keinginan untuk tetap berpegang teguh pada cita-cita kemerdekaan bangsa dan rasa persatuan kesatuan itu sendiri.

Jika mengkaji pemikiran intelektual, semacam gagasan George S. Counts yang meyakini sekolah sebagai salah satu basis pergerakan perubahan sosial, sungguh sangat menarik. Selama ini rasanya pendidikan di Indonesia (kembali) belum maksimal. Padahal untuk mengharapkan warga sekolah dapat menjadi agen perubahan, Counts sendiri mensyaratkan adanya komitmen kolektif – terutama dari pendidik – untuk memberikan teladan terhadap kesadaran akan tujuan dan visi bersama bangsa. Serta mengajarkan agar tak ragu dan kikuk berhadapan (bahkan menggunakan) kekuasaan yang dapat diraih, selama itu dalam kerangka memperjuangkan tegaknya visi bersama tersebut. Apabila pemikiran ini kita analogikan dalam sebuah konsep negara, maka kesadaran kolektif sepertinya harus terbangun guna prasyarat untuk mewujudkan sistem sosial dan politik yang tidak mendominasi; dalam bahasa filsafat politik Aristoteles, politik harus menjadi jalan mencapai kehidupan yang baik (good life). Tak ada dominasi satu pihak, yang diperlukan adanya paradigma kerja dan paradigma komunikasi.

Dalam perspektif masyarakat yang komunikatif, interaksi atau komunikasi yang berlangsung dua arah, dengan daya saling mengimbangi secara proporsional hanya akan terwujud jika prasyarat intelektual; kesadaran rasional, kemampuan komunikasi – itu terpenuhi. Jika tidak hegemoni yang berkuasa hanya akan menjadi warna dominan dan membuat proses kemajuan bangsa kembali mengalami degradasi.

Bekerja sama dapat menumbuhkan kebersamaan yang bermuara pada rasa persatuan dan kesatuan. Sebagai orang muda, jangan takut untuk minta maaf. Dalam kehidupan wajar jika terkadang kita melakukan kesalahan. Karena, bila masalah kecil kita biarkan maka lama kelamaan akan menjadi besar dan ini akan membahayakan persatuan kita bersama. Telah banyak contoh yang mengarah pada hal ini, akankah kita menambahnya? Oleh karena itu, generasi muda harus berupaya untuk dapat menyelesaikan masalah dari yang kecil-kecil agar tidak membahayakan persatuan bangsa. Mengisi waktu luang dengan hal yang bermanfaat dapat menghindarkan kita dari usaha-usaha provokatif pihak lain. Di lain pihak, menjaga sikap dan mampu mengendalikan diri dalam kehidupan bermasyarakat perlu dikembangkan oleh generasi muda. Selain itu, penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam pergaulan sehari-hari dapat dijadikan upaya membangunkan kembali rasa persatuan, karena dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi kesalahpahaman akan terhindarkan.

Introspeksi atau refleksi adalah cara untuk kembali menyadarkan. Ibarat kaca spion bagi kita, kita dapat sesekali menengok ke belakang, agar langkah maju kita tak tertikam bahaya laten ataupun kecerobohan yang tak perlu. Termasuk keliru memahami dan menghadapi perubahan.

Masyarakat komunikatif tercipta dengan mampu merasakan kepekaan dan kepedulian serta siap berargumentasi memecahkan permasalahan kompleks yang diidap. Kongkretnya, dengan cara itu, dapat mengawal masa-masa sulit ini menuju suatu arah yang tepat. Bagaimanapun menyiapkan seperangkat infrastruktur yang capable menyikapi setiap kejutan arah angin perubahan secara tenang dan penuh perhitungan dalam konsensus, dapat menyediakan energi yang berlimpah ketika kita amat membutuhkannya. Mengedepankan prioritas tidak bermakna mengesampingkan kebutuhan lainnya.

Orang selalu mengimpikan suatu kedamaian di mana setiap orang bebas hidup dengan damai dan mewujudkan cita-citanya. Baru belakangan ini kita mulai menyadari, dengan kerja sama, kita mampu membangun dunia yang damai. Daripada kita bertengkar satu sama lain, lebih baik kita memerangi bahaya yang akan sama-sama kita hadapi, yaitu kekerasan, keserakahan, membongkar akar-akar pertikaian dan mencoba melaksanakan persamaan lebih besar dalam hubungan ekonomi, sosial dan budaya. (Javier Perez de Cuellar).

Dalam tugas yang memakan waktu dan menantang ini, mantan Sekjen PBB Javier Perez de Cuellar mengatakan, kita harus membentengi diri dengan kepercayaan pada nilai-nilai keutamaan manusia akan cinta, kasih sayang, dan kebijaksanaan sebagai modal memandang masa depan.

Barangkali, sebagai bagian dari bangsa ini. Memang yang lebih diperlukan adalah kemampuan memelihara memori dan mengambil pelajaran dari apa yang sudah bersama kita lalui sebagai sebuah bangsa. Sebuah refleksi juga jalan untuk upaya merawat ingatan bahwa kemerdekaan ini adalah hasil perjuangan beratus dekade oleh berjuta pejuang; bahwa otoriterianisme merupakan jalan yang tidak kita inginkan sebagai bangsa yang bercita-cita dewasa; bahwa represivitas melumpuhkan demokrasi dan intelektualitas; bahwa kebebasan berpikir dan bersuara telah dibayar mahal oleh nyawa yang tak ternilai; bahwa korupsi dan kawan-kawannya telah menghancurkan sendi-sendi keadilan dan meluluhlantakkan harapan untuk hidup makmur, sejahtera, dan berkeadilan; bahwa wajah pendidikan menentukan karakter bangsa; bahwa persoalan bangsa ini adalah persoalan yang harus kita selesaikan secara bersama-sama; bahwa jauh dari tempat kita berada banyak sosok yang tulus bergerak untuk sesuatu yang memiliki nilai kontribusi tinggi daripada kita yang hanya berdiam sambil berpura-pura diskusi dan turut berpikir.***

Prakoso Bhairawa Putera S., peneliti muda kebijakan iptek – LIPI, Jakarta.

Sumber : Pikiran Rakyat, 23 Agustus 2009

Senin, 17 Agustus 2009

Pangan Merdeka, Indonesia Sejahtera

Penulis: Prakoso Bhairawa Putera S, Peneliti Muda Kebijakan dan Perkembangan Iptek, LIPI


MERDEKA, itulah kata yang begitu dekat dengan kita di bulan Agustus ini. Kata “Merdeka” dapat diapresiasikan dalam setiap sektor kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada sebuah terjemahan Kamus Besar Bahasa Indonesia daring (dalam jaringan) atau KBBI online diartikan sebagai bebas, tidak terkena atau lepas dari tuntutan, tidak terikat, tidak tergantung pada orang lain atau pihak tertentu. Pengertian ini memberikan makna beragam, tetap dengan inti yang sama yaitu suatu keadaan tidak terikat dan berdiri sendiri dengan kebebasan yang dimiliki.

Tataran merdeka pada bidang pertanian menjadi fokus yang belakangan ini selalu dibicarakan, kata lain kita sering mendengar istilah aman pangan yang tak lain perwujudan dari kemerdekaan akan pangan. Tidak salah kiranya jika “pangan merdeka” dimaknai sebagai kondisi untuk bebas berdiri sendiri, bebas memilih tempat di mata dunia, bebas berinteraksi dan bekerjasama dengan bangsa lain untuk peningkatan dan kemakmuran bangsa dalam bidang pangan. Kondisi ini mensyaratkan untuk tidak terbelenggu dan tidak juga dalam tekanan dunia ataupun kepentingan ekonomi, politik ataupun militer yang sepihak, sehingga pelaksanaan perwujudan kondisi aman pangan akan memasukkan unsur penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi (baik untuk penelitian dan pengembangan) untuk meningkatkan tatanan dan suasana yang lebih kondusif dapat berlangsung dan berlanjut.
Guna melihat pangan merdeka, baik kiranya merujuk pada kebijakan yang telah digariskan oleh pemerintah. Undang-undang No.7 Tahun 1996 tentang Pangan telah mengamanatkan bahwa pemerintah bersama masyarakat bertanggung jawab mewujudkan ketahanan pangan.

Dengan kata lain, untuk bisa menciptakan “pangan merdeka” dibutuhkan juga kontribusi masyarakat yang bertanggung jawab. Pemerintah sebagai pihak menyelenggarakan pengaturan, pembinaan, pengendalian, dan pengawasan terhadap ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah dan mutunya, aman, bergizi, beragam, merata, dan terjangkau oleh daya beli masyarakat. Selanjutnya, masyarakat berperan dalam menyelenggarakan produksi dan penyediaan, perdagangan dan distribusi, serta sebagai konsumen yang berhak memperoleh pangan yang aman dan bergizi.

Kenyataan di lapangan ternyata tidak serupa dengan yang diamanatkan kebijakan tersebut. Pangan nasional masih menimbulkan masalah kecukupan produksi, distribusi, dan pendapatan pangan mempunyai efek multidimensi. Pangan merdeka adalah kunci untuk menciptakan suatu kondisi yang memungkinkan rakyat mendapatkan akses sejahtera. Layaknya filosofi dari kata “merdeka”, maka “merdeka” pangan tidak hanya diasumsikan sebagai kemampuan ketersediaan pangan bagi rakyat semata, tetapi perlu ditambahkan pada kondisi mendatang dengan penyiapan regulasi yang “memerdekkan” pangan itu sendiri, kesiapan dan kemampuan teknologi dan sumber daya manusia andal yang mendukung keberlanjutan produksi pangan di negeri ini.

Sepertinya saya sepakat dengan Ahmad Erani Yustika (2008), bahwa selama ini kebijakan memerdekaan pangan, terutama di negara-negara berkembang, seperti Indonesia, selalu bermakna subsidi kepada kelompok kaya yang tinggal di perkotaan (urban bias) sehingga menindih petani (orang desa) dalam dua dampak sekaligus. Pertama, petani dirugikan karena insentif laba menjadi amat kecil akibat kebijakan pangan murah. Kedua, petani harus membayar mahal untuk membeli komoditas nonpertanian karena pemerintah menyerahkan penentuan harga berdasar mekanisme pasar.

Meski hal ini mudah dipahami, dalam sejarahnya sulit mengimplementasikan fondasi kebijakan ini karena kuatnya penetrasi politik yang bermain dalam arena pengambilan keputusan.
Jika merujuk pada paradigma ketahanan pangan nasional selama ini, selalu diarahkan pada kebijakan swasembada dan stabilitas harga yang diindikasikan dengan adanya kemampuan menjamin harga dasar yang ditetapkan melalui pengadaan pangan dan operasi pasar. Sebenarnya, paradigma ini perlu dilakukan penguatan akses masyarakat untuk memperoleh pangan itu sendiri dengan meningkatkan kegiatan masyarakat sehingga dapat meningkatkan pendapatan, bukan lagi mengejar swasembada komoditas per komoditas meskipun ini juga perlu.

Akses ketersediaan pangan bagi seluruh rakyat dan kemampuan setiap rumah tangga memperoleh pangan dari hari ke hari adalah indikator awal. Ketersediaan pangan yang cukup di tingkat wilayah belum menjamin kecukupan pangan di tingkat rumah tangga. Oleh karena itu, kelancaran distribusi pangan sampai wilayah permukiman serta daya jangkau fisik dan ekonomi rumah tangga terhadap pangan merupakan dua hal yang sama pentingnya.

Penguatan pangan merdeka pun perlu diarahkan pada pengembangan pangan dengan mengembangkan sistem pangan yang berbasis pada keberagaman sumber daya bahan pangan, kelembagaan, dan budaya lokal dalam rangka menjamin tersedianya pangan dan nutrisi dalam jumlah yang dibutuhkan pada tingkat harga yang terjangkau dengan memerhatikan peningkatan pendapatan petani yang berbasis sumber daya nasional secara efisien dan berkelanjutan, menuju masyarakat yang sejahtera.

Penguatan Kebijakan

Apabila prasyarat pertama telah terpenuhi, penguatan kebijakan pangan merdeka adalah penting. Pemerintah tidak perlu lagi tergoda membangun pertanian secara instan dengan mengedepankan kebijakan instrumen fiskal tanpa mau bersusah payah meningkatkan produksi.

Idealnya, sebuah kebijakan maka tidak lain tidak bukan terlebih bagi sektor pertanian, maka kepastian jaminan pasar sebagai peluang mengajak petani bergiat menanam komoditas tanaman pangan menjadi keharusan. Peningkatan produksi tanaman pangan hanya akan tercapai apabila pemerintah mampu memberikan kepastian kepada petani. Baik dalam bentuk jaminan harga maupun penyerapan produk. Lembaga stabilisasi harga dan pasokan, seperti Perum Bulog, mesti dimanfaatkan dan diberdayakan dengan baik. Kalau bisa Perum Bulog jangan hanya berperan mengamankan beras, tetapi diperluas untuk komoditas lain seperti jagung, kedelai, dan juga umbi-umbian. Mekanisme pembelian produk pertanian oleh Bulog atau lembaga lain yang memiliki peran dan fungsi yang sama harus dilakukan dalam segala kualitas.

Bila semua titik kebijakan telah diupayakan, tetapi jangan sampai terlewatkan perlunya evaluasi tingkat produksi, dengan tidak hanya dilakukan evaluasi tingkat produktivitas semata. Perlunya juga evaluasi terhadap komoditas tanaman pangan secara berkelanjutan di tingkat nasional maupun di daerah (provinsi dan kabupaten/kota). Evaluasi ini penting dilakukan untuk melihat keseimbangan tingkat konsumsi dengan laju pertumbuhan produksi pangan. Selain itu, revisi rencana strategis jangka pendek dan panjang dengan lebih mengintensifkan upaya peningkatan produktivitas di sektor pertanian, khususnya tanaman pangan mesti dilakukan.

Berikutnya kebijakan bisa diarahkan pada stabilitas pasar. Stabilitas pasar harus dibangun untuk menjamin kepastian bagi konsumen komoditas pangan. Penguatan kebijakan stabilitas pasar dicapai melalui perubahan struktural sehingga mampu memperbaiki sektor pertanian dengan peningkatan diversifikasi konsumsi pangan sehingga tidak terkonsentrasi pada komoditas tertentu; penyebaran surplus komoditas pangan ke tempat lain yang mengalami defisit; dan interaksi strategis antara sektor publik dan swasta untuk mencegah instabilitas pasar dan krisis pangan.

Keberanian mengeluarkan kebijakan juga, mesti diikuti dengan pelaksanaan pembaruan agraria, dengan ditunjang pembangunan infrastruktur perdesaan seperti irigasi dan jalan-jalan desa. Begitu juga dengan keberanian menegakkan pangan merdeka dengan cara berswasembada dan melepaskan ketergantungan terhadap mekanisme pasar bebas.***

Sehat Teknologi Untuk Anak

Penulis: Prakoso Bhairawa Putera, Peneliti Muda Kebijakan dan Perkembangan Iptek LIPI


Perkembangan teknologi ditenggarai membawa dampak bagi anak, dampak tersebut tidak hanya positif tetapi negatif.

KEHADIRAN teknologi yang umumnya diciptakan dengan universal design, sehingga dapat dipergunakan oleh siapa saja tanpa melakukan perubahan-perubahan tertentu, atau singkat kata teknologi pada umumnya hadir dan siapa saja bisa menguasainya. Pola semacam inipun berlaku pada anak-anak, terlebih dari setiap produk teknologi yang dihasilkan selalu dilengkapi dengan petunjuk operasionalnya. Hal ini mempermudah anak-anak untuk mengoperasikan sebuah teknologi dengan ditambah bimbingan seseorang yang mampu (orang tua). Akan tetapi fenomena yang sering terjadi, acap kali anak-anak lebih menguasai teknologi dibandingkan dengan ayah atau ibunya.

Fenomena ini memunculkan isu-isu pengaruh negatif teknologi terhadap anak. Pengaruh negatif terjadi karena si anak memiliki banyak waktu dengan teknologi yang tersedia. Sehingga waktu yang ada banyak dihabiskan bersama ponsel, komputer, atau televisi. Dalam teknologi tersebut memiliki content yang sangat digemari anak, seperti; facebook, instant messenger (IM), video conference, blog, dan game.

Ken Kelly (2008), dalam tulisannya Information technology making a Difference in Children Lives menjelaskan bahwa teknologi informasi mempengaruhi perkembangan anak diberbagai ranah kehidupannya, seperti: kesehatan, persiapan tenaga kerja, pendidikan dan civil engagement. Pengaruh yang ada lebih terarah pada sisi positif, dimana dengan adanya bantuan teknologi informasi, mempermudah pemantauan kesehatan pada anak, dengan komunikasi berbasis web membantu sejumlah anak yang memiliki penyakit diabetes dan asma untuk bisa dipantau dan memiliki catatan medis elektronik. Hal semacam ini telah dilakukan di Amerika Serikat.

Keterampilan teknologi informasi pada usia dini bisa menjadi investasi awal dimasa mendatang, karena 95 persen lowongan pekerjaan baru selalu mensyaratkan seseorang memiliki keterampilan dalam penggunaan teknologi ini. Pendidikan saat ini pun mulai melibatkan teknologi informasi di dalamnya. Hal ini terbukti dengan diterapkan sistem pembelajaran online dibeberapa wilayah, dan bukan tidak mungkin dimasa mendatang sistem e-learning seperti halnya di Singapura diterapkan di Indonesia mulai dari tingkat sekolah dasar.

Berkaitan dengan civil engagement, bukan hal baru lagi jika hadirnya jejaring sosial telah membawa anak-anak menjadi bagian satu dengan yang lain untuk saling berkomunikasi.

Namun, hal positif dari teknologi ini dapat berakibat buruk bila digunakan secara tidak bertanggung jawab. Ada kalanya anak-anak lebih suka memainkan teknologi itu dan lupa kewajiban yang lebih penting seperti makan, mandi bahkan enggan untuk belajar.

Diakui oleh para ahli, seorang anak ketagihan berteknologi karena mendapatkan kenyamanan dari pengalaman baru tersebut. Anak-anak juga merasa mendapatkan dunia yang berbeda dengan yang ada disekitarnya, serta ia merasa bisa menjadi orang lain yang diinginkannya. Contoh yang paling sederhana, seorang anak pendiam dan pemalu bisa berkenalan melalui chating atau pun via surat elektronik, anak juga bisa membuat karakter yang disukai dalam game online yang dimainkannya. Kenyamanan semacam inilah yang membuat anak menjadi lupa akan kehidupan nyatanya.

Bahaya pornografi pun sangat dekat dengan dunia anak yang telah kecanduan akan teknologi informasi bernama internet. Dalam seminggu saja, lebih dari 400 situs porno dibuat di seluruh dunia. Berdasar hasil riset yang dilansir TopTenReviews, setiap detiknya lebih dari 28.000 pengakses pornografi di internet dengan total pengeluaran lebih dari 3.000 dollar AS. Jika kita mencari kata kunci ‘sex’ di Google, akan muncul 662 juta situs, 568.881 video, 157 juta gambar, dan 111.057.569 blog. Ini menandakan begitu dekatnya bahaya pornografi pada anak.
Pada awalnya bisa saja seorang anak tidak berminat untuk melihat pornografi, dan akan memanfaatkan internet untuk tujuan yang baik-baik saja. Tetapi, situs-situs porno bisa muncul secara tiba-tiba saat seorang anak mecari informasi karena pembuat situs tersebut memasukkan kata-kata kunci yang sering digunakan.

Anak-anak berusia 8-12 tahun menjadi sasaran penyebaran. Anak-anak seusia tersebut masih sangat rentan karena otak depan seorang anak belum berkembang dengan baik. Otak depan menjadi pusat untuk melakukan penilaian, perencanaan dan menjadi eksekutif yang akan memerintahkan tubuh untuk melakukan sesuatu. Otak belakang anak seusia ini menjadi pendukung dari otak depan, Otak belakang terdapat dopamin, yaitu hormon yang menghasilkan perasaan nyaman, rileks atau fly pada seseorang. Anak yang telah kecanduaan akan sulit menghentikan kebiasaanya, alhasil dia berulang kali melakukan kebiasaan tersebut.

Meminimalisir Dampak Internet

Langkah tepat untuk meminimalisir dampak tersebut bisa dilakukan dengan penguatan pengetahuan tentang internet yang dimiliki oleh para orang tua, meletakkan komputer di tempat yang mudah dilihat sehingga orang tua bisa dengan mudah melakukan pengawasan dan pendampingan saat anak sedang mengoperasikan teknologi tersebut, menanamkan nilai-nilai keutamaan dari manfaat sebuah teknologi, jangan takut untuk membatasi waktu penggunaan internet di rumah. Melalui langkah ini setidaknya anak merasa semakin dekat dengan orang tuanya dan terjalin hubungan yang akrab dalam keluarga. Bila memungkinkan, jangan sungkan untuk berteman dengan anak di jaringan sosial yang dimilikinya, seperti facebook, friendster ataupun myspace.****

dipublikasi di BANGKA POS, edisi 11 Agustus 2009

Selasa, 04 Agustus 2009

PENGUMUMAN SNMPTN

Oleh Prakoso Bhairawa Putera S.

HARI ini 1 Agustus 2009 bertepatan dengan pengumuman hasil Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) atau pada dua tahun sebelumnya dikenal dengan Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penyelenggaraan SNMPTN tahun ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Pertama kali dalam pelaksanaan tes ujian masuk perguruan tinggi negeri secara nasional diberlakukan adanya Tes Potensi Akademik (TPA).

Tahun ini, selain memberlakukan sistem persentil atau Tes Bidang Studi Prediktif (TBSP) dengan bobot nilai 70%, SNMPTN 2009 juga menambahkan satu materi tes lain, yaitu TPA dengan bobot penilaian 30%. Berdasarkan jumlah peminat, SNMPTN tahun ini mengalami peningkatan sekitar 10%. Selain itu, dari sistem penilaian hasil. Penilaian hasil ujian seleksi nasional kali ini benar-benar berbeda.

Sistem persentil

Sistem persentil mulai diberlakukan dalam penilaian SNMPTN tahun ini. Jika tahun sebelumnya, dengan skor 4 jika jawaban benar, 0 jika tidak diisi, dan minus 1 jika salah, skor tersebut langsung dijumlahkan dan menjadi nilai akhir peserta SNMPTN. Ketika siswa tidak mengisi salah satu mata pelajaran dan mengisi mata pelajaran lain yang dia kuasai, nilainya tertutup oleh nilai mata pelajaran yang dikuasainya.

Dengan demikian, bisa saja terjadi (dan mungkin sering terjadi) seseorang jurusan IPA di sekolahnya mengambil IPS di SNMPTN dan tembus ke akuntansi PTN A karena bagus di matematika, sementara pelajaran ekonominya jelek. Sistem penilaian semacam ini (sistem lama), bila ada mata pelajaran yang terkesan sulit, raihan nilai siswa cenderung rendah. Penyebabnya, bisa jadi siswa "kurang berminat" mengerjakannya. Padahal, setiap mata pelajaran itu sama pentingnya untuk diujikan.

Namun, sistem seperti itu tidak akan berlaku lagi tahun ini. Sistem penilaian persentil menghendaki peserta ujian mengerjakan semua mata pelajaran yang diujikan dalam Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) 2009. Dengan sistem persentil ini, setiap mata pelajaran akan mendapat porsi yang sama dalam penilaian. Skor yang diperoleh tidak langsung dijumlahkan, tetapi diperingkat dahulu dengan penghitungan "persentil= 100 x (1-peringkat siswa/peserta)". Artinya, lolosnya siswa bergantung pada jumlah skor setiap mata pelajaran, peringkat skornya secara nasional, dan jumlah peserta.

Intinya, mereka yang lolos adalah yang nilainya bagus di setiap mata uji. Ini juga akan mengurangi angka DO di PTN yang dipilih dan kehadiran mahasiswa baru hasil SNMPTN tahun ini benar-benar hasil terbaik dan yang layak.

Paradigma baru

Kehadiran sistem penerimaan semacam ini menjadi paradigma baru sehingga asumsi tentang adanya banyak perguruan tinggi yang mendahulukan kuantitas daripada kualitas pendidikan, bisa sedikit ditepis.

Namun, kita juga tidak bisa menutup mata, masih ada yang melakukan praktik semacam itu. Banyak perguruan tinggi yang mengedepankan kemampuan mereka untuk survive dulu dengan mencari pemasukan sebanyak-banyaknya dari SPP mahasiswa. Demikian pula dengan beberapa perguruan tinggi negeri yang berubah statusnya menjadi BHP, mereka dituntut untuk dapat mandiri dalam mengelola keuangannya.

Di sisi lain, guna meningkatkan kualitas pendidikan tinggi tentu saja diperlukan faktor pendukung seperti gedung, fasilitas belajar-mengajar, perpustakaan, dan manajemen pendidikan merupakan hal penting yang harus selalu dicoba ditingkatkan kualitasnya. Namun, hal yang paling utama adalah ketersediaan sumber daya manusia berupa staf akademis yang qualified dan berkomitmen. Kemampuan perguruan tinggi untuk menarik dan mempertahankan staf akademis yang berkualitas adalah kuncinya.

Peningkatan kualitas pendidikan dan peningkatan riset menjadi hal yang saling mendukung dalam peningkatan kualitas pendidikan tinggi secara umum. Meningkatkan riset dan kualitas pendidikan ini adalah kunci agar perguruan tinggi-perguruan tinggi di Indonesia bisa lebih kompetitif di mata internasional. Suatu perjuangan berat yang tidak mudah, namun tetap harus dimulai bagaimanapun beratnya.

Gonjang-ganjing tentang mutu pendidikan tinggi yang semakin disorot akhir-akhir ini membuat banyak pihak yang terlibat mulai bingung, seperti apa sebenarnya konsep pendidikan tinggi yang ideal di Indonesia. Karena banyak bukti menunjukkan, pendidikan tinggi di Indonesia jauh tertinggal dibandingkan dengan negara lain. Meskipun kita bersikap masa bodoh dengan survei yang menyatakan posisi pendidikan tinggi Indonesia termasuk papan bawah di Asia bahkan di dunia, ada baiknya kita melirik bagaimana sistem pendidikan tinggi di negara-negara yang tergolong maju.

Jika dikembalikan pada SNMPTN, tidak lebih dari 20% peserta tes SPMB-PTN yang dinyatankan lulus. Kondisi amat terbatasnya daya tampung PTN, memberi kesempatan luas kepada PTS untuk memasuki pasar perguruan tinggi. Selain itu, beberapa PTS memiliki rasa percaya diri yang cukup tinggi bahwa mereka memiliki segmen pasar tersendiri sehingga tidak bergantung kepada hasil SPMB. Dari sisi calon konsumen pendidikan tinggi, kualitas pendidikan tinggi yang akan dibeli merupakan suatu tuntutan.

Apa pun yang akan dihasilkan setelah kelarnya hajatan besar ini, semuanya adalah rangkaian dari proses panjang untuk menuai kualitas sumber daya manusia Indonesia unggul. ***

Penulis, peneliti muda kebijakan iptek – LIPI, Jakarta.

Sumber : Pikiran Rakyat, 01 Agustus 2009