Senin, 20 Juli 2009

“Optimisme” Pelayanan Publik

Publikasi di PIKIRAN RAKYAT, edisi 01 Juli 2009


Oleh : Prakoso Bhairawa Putera S

Peneliti Kebijakan pada PAPPIPTEK – LIPI, Jakarta

HADIRNYA Undang-undang Pelayanan Publik yang baru disahkan 23 Juni kemarin membawa semangat optimisme bagi masyarakat umum untuk mendapatkan pelayanan yang lebih baik. Perjalanan panjang sejak diajukan pemerintah pada 7 Desember 2005 tertuntaskan sudah.

Kehadiran undang-undang ini tepat adanya, karena salah satu fungsi utama dalam penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi kewajiban aparatur pemerintah adalah penyelenggaraan pelayanan publik. Di dalam hukum administrasi negara Indonesia, berdasarkan pengertian umum istilah “pelayanan publik” diartikan sebagai: “segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah sebagai upaya pemenuhan kebutuhan orang, masyarakat, instansi pemerintah dan badan hukum maupun sebagai pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Dengan demikian pelayanan publik dapat dikatakan sebagai pemberian pelayanan prima kepada masyarakat yang merupakan perwujudan kewajiban aparatur pemerintah sebagai abdi masyarakat. Dalam memberikan pelayanan publik ada beberapa hal yang perlu dicatat yaitu penyelenggaraan pelayanan publik perlu memperhatikan dan menerapkan prinsip, standar, pola penyelenggaraan, biaya, pelayanan bagi penyandang cacat, lanjut usia, wanita hamil dan balita, pelayanan khusus, biro jasa pelayanan, tingkat kepuasan masyarakat, pengawasan penyelenggaraan, penyelesaian pendaduan sengketa, serta evaluasi kinerja penyelenggaraan pelayanan publik. Selain itu juga patut memperhatikan hak dan kewajiban bagi pemberi maupun penerima pelayanan umum dengan jelas dan diketahui secara pasti oleh masing-masing pihak.

Indeks Kepuasan Masyarakat

Pada isi undang-undang ini menempatkan masyarakat sebagai bagian terpenting dalam sebuah sistem. Pelibatan aktif masyarakat sangat diutamakan. Bahkan dalam salah satu pasalnya disebutkan tentang Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) yang akan diukur secara periodik dengan survei. Walaupun kegiatan semacam ini telah dilakukan oleh lembaga ataupun kalangan di wilayah-wilayah tertentu.

Dengan demikian disain kebijakan ini akan mengubah watak negara dan pejabat negara dari penguasa rakyat menjadi pelayan rakyat. Selain itu, juga memberi kejelasan dan pengaturan mengenai pelayanan publik dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar sesuai dengan hak-hak sipil, politik, ekonomi dan sosial budaya setiap warga negara dan penduduk atas suatu barang, jasa dan/atau pelayanan administrasi yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik di berbagai lembaga negara maupun korporasi.

Para penyelenggara pemerintahan negara lebih dituntut untuk menyatukan tindakan dan kebijaksanaan dengan tatanan nilai yang hidup dan berkembang di masyarakat, maka aparat haruslah sensitif, responsif, dan akuntabel. Sensitivitas dan responsibilitas pada dasarnya merupakan wujud sikap tanggung jawab aparat birokrasi terhadap kepentingan masyarakat. Sedangkan akuntabilitas merupakan perwujudan tanggung jawab publik dan pelayanan publik.

Pada dasarnya pengertian akuntabilitas itu sendiri memiliki dua dimensi. Pertama, berupa pemberian kewenangan kepada aparat birokrasi untuk menjalankan kekuasaannya, dan kedua, berupa pemberian keleluasaan kepada masyarakat untuk mengontrol kerja aparat birokrasi.

Menyikapi lahirnya undang-undang pelayanan publik maka ada tantangan besar dalam bagaimana menghadirkan pelayanan publik yang terukur, efektif dan efisien. Untuk menjawab tantangan tersebut, maka dalam UU ini ditegaskan perlunya kehadiran suatu organisasi penyelenggara pelayanan publik. Hal lain juga dipertegas dengan pengaturan mengenai penyelesaian pengaduan yang dapat dilakukan oleh penyelenggara pelayanan publik paling lambat enam puluh hari sejak berkas dinyatakan lengkap.

Walau demikian, sebagus dan sebaik apa pun bahasa yang digunakan dalam sebuah naskah kebijakan, tetap tidak berarti jika hanya berada pada tataran naskah saja. Perlu implementasi yang jelas, dan layaknya sebuah undang-undang maka diperlukan kelengkapan yang harus segera dirapikan dan dirampungan untuk menjalankan undang-undang tersebut secara teknis.

Ke depan semoga tidak ada lagi suara-suara sumbang yang selalu mempertanyakan kinerja pelayan publik sebagai aparatur pemerintah yang dinilai tidak maksimal. Tidak ada lagi ketidakjelasan wewenang yang dimiliki aparat. Dalam tatanan organisasi, wewenang seharusnya hanya diberikan pada porsi yang relatif terbatas sesuai dengan cakupan tugas seorang pegawai. Namun dalam praktiknya, wewenang yang terbatas itu seringkali direcoki oleh pihak pemberi wewenang, dalam hirarki birokrasi yang lebih tinggi.

Dalam situasi demikian, maka aparat, terutama yang berada pada tingkat manajerial menengah, akan kagok dalam melaksanakan tugas, yang pada gilirannya akan mengakibatkan menyusutnya sense of responsibility. Menyusutnya rasa tanggung jawab terhadap tugas yang diberikan inilah yang diduga menjadi pangkal tolak kurang sigapnya aparat birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Kebijakan pemerintah tentang Pelayanan Publik telah hadir, tentunya harus direspons oleh semua pihak, karena kebijakan tersebut dapat memberikan ruang publik yang positif, sehingga bisa diketahui, seberapa besar tingkat capaian kinerja instansi publik termasuk di dalamnya aparaturnya, serta seberapa besar tingkat partisipasi publik untuk memberikan feedback-nya terhadap kondisi yang terjadi berupa daya respon yang cerdas agar terpelihara pelayanan publik yang diharapkan dan optimal. **

Tidak ada komentar:

Posting Komentar